![](https://sambaliungcorner.com/wp-content/uploads/2024/08/Sambaliung-Corner-1-1024x768.jpg)
Samarinda, 09 Agustus 2024 — Tepat pada Hari Masyarakat Adat Sedunia, Sambaliung Corner mengadakan diskusi terbuka dengan mengangkat isu persoalan Masyarakat Adat Kutai Lawas di Desa Kedang Ipil yang saat ini tengah terancam dengan masuknya perusahaan perkebunan kelapa sawit, yakni PT. Puncak Panglima Perkasa. Para pembicara dalam diskusi ini adalah Dede Wahyudi Staf Kebijakan dan Advokasi AMAN Kaltim; Kiftiawati, S.S., M.Hum. Dosen Fakultas Ilmu Budaya UNMUL; dan Muhammad Yuga Mahasiswa Fakultas Hukum.
Dimoderatori oleh Cindy Permatasari, diskusi dibuka oleh Dede Wahyudi dengan menguraikan kondisi Masyarakat Adat Kutai Lawas yang tengah terancam dengan adanya upaya ekspansi perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh PT. Puncak Panglima Perkasa. Lebih lanjut, Dede menjelaskan bahwa Masyarakat Adat Kutai Lawas di Desa Kedang Ipil telah mendesak Bupati Kutai Kertanegara untuk menghentikan perusahaan tersebut. Namun, sampai saat ini belum ada tanggapan dari Bupati Kutai Kertanegara Edi Damansyah, sementara aktivitas PT. Puncak Panglima Perkasa telah melakukan pemetaan lokasi. Atas hal itu, Dede Wahyudi menyampaikan “Pemerintah Daerah Kutai Kertanegara sudah selayaknya memberikan legitimasi pengakuan dan perlindungan kepada Masyarakat Adat Kutai Lawas di Desa Kedang Ipil, bukan kepada korporasi.”
Dalam disertasi berjudul “Kontestasi Identitas Masyarakat Adat Kutai Lawas di Desa Kedang Ipil” yang ditulis oleh Kiftiawati, memaparkan sejarah Masyarakat Adat Kutai Lawas yang telah ada pada masa Kerajaan Kutai pra-Islam dan telah menjadi entitas terakhir. Menurut Kiftiawati, “Di saat UNESCO menyatakan kepunahan bahasa langit dengan meninggalnya generasi terakhir suku pedalaman Mexico, Masyarakat Adat Kutai Lawas memiliki sebuah ritual yang menggunakan bahasa dewa, dan ini menjadi kekayaan besar bukan hanya Kalimantan Timur tapi juga bagi bangsa Indonesia”. Lebih lanjut, Kiftiawati menyatakan bahwa “Terdapat dua tradisi, yakni Nutuk Beham (Upacara pra-Panen); dan Muang (Upacara Kematian), dan ini telah disahkan melalui SK Kemendikbudristek”. Oleh karena itu, Masyarakat Adat Kutai Lawas sangat penting untuk dilindungi dan dilestarikan.
Menyambung hal itu, Muhammad Yuga menyatakan ekspansi lahan perkebunan kelapa sawit oleh PT. Puncak Panglima Perkasa juga mengancam keberadaan Tupai Merah sebagai hewan endemik yang ada di wilayah tersebut. Terlepas dengan hal itu, menurut Yuga, konflik yang melibatkan antara perusahaan dan masyarakat adat telah lazim terjadi di Indonesia. “Dalam beberapa tahun belakangan ini di era Pemerintahan Jokowidodo perampasan lahan Masyarakat Adat yang berujung kriminalisasi masih terus berlangsung hingga saat ini”. Masyarakat Adat merupakan jati diri bangsa Indonesia dan konstitusi UUD Tahun 1945 telah mengakui hal itu. Sebagai penutup diskusi tersebut Muhammad Yuga menegaskan “Masyarakat Adat sampai saat ini masih berada dalam ketakutan di tengah ambisi dari kapitalisme. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengakui dan memberikan perlindungan kepada Masyarakat Adat dengan mengesahkan RUU Masyarakat Adat.”
Editor: Fajrul Karnivan
Panjang umur perlawanan!
Terus menyala….