
Saat saya sedang bersantai sambil scrolling di aplikasi Tiktok, saya tertarik dengan salah satu video dari akun @DensMah yang didalam videonya ada kalimat, “Pov: masuk neraka karna ngambil jatah KIP padahal orang mampu”
Banyak komentar dari warganet yang mengatakan bahwa banyak teman mereka yang penerima beasiswa KIP tetapi lifestyle mereka bak seperti anak sultan yang melebihi mahasiswa biasa. Sedangkan mahasiswa yang membayar UKT nya tiap semester masih berfikir bagaimana caranya untuk mengurangi beban orang tuanya. Miris sekali.
Saya menyetujui apa yang warganet lontarkan dalam komentar video tersebut karena saya pun turut melihat di lingkungan sekitar saya banyak terdapat hal demikian seperti kendaraan yang dibuat hedon, membeli kendaraan baru, membeli barang-barang mahal, dan makan makanan mewah. Mengingat, beasiswa yang diberikan kepada mahasiswa yang sedang berkuliah di Kalimantan Timur misalnya bisa mencapai 12 juta per semester. Maka itu mereka punya banyak modal untuk berperilaku hedon.
Terkadang memang dengan beasiswa sebesar itu membuat banyak dari kalangan mahasiswa biasa atau reguler ini merasa iri. Bukan karena mereka tidak dapat, akan tetapi salah satu syarat utama beasiswa KIP ini kan untuk golongan masyarakat yang kurang mampu. Mengapa kemudian banyak dari penerima KIP ini bergaya hidup yang mewah dan seolah-olah memperlihatkan bahwa mereka dari keluarga yang mampu secara finansial.
Self-deception yang ada pada judul diatas menggambarkan seseorang yang sebenarnya merasa tidak berhak menerima bantuan tersebut karena kondisi ekonomi yang lebih baik, namun meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia layak mendapatkannya. Ini bisa dilakukan demi mempertahankan kenyamanan atau keuntungan yang diperoleh dari bantuan tersebut, meskipun kenyataannya tidak sesuai dengan kriteria penerima KIP.
Hal lain misalnya dalam meyakinkan dirinya berhak mendapatkan beasiswa KIP padahal semestinya tidak, mahasiswa banyak melakukannya dengan cara memanipulasi data. Selama saya melakukan pengamatan di media sosial dan realitas lingkungan, saya mendapati banyak yang memanipulasinya dengan menyertakan foto rumah kakek atau nenek mereka yang terlihat tidak layak.
Padahal rumah sebenarnya yang mereka tempati layak huni. Kalaupun pihak pemberi beasiswa melakukan survey, mereka tinggal pindah ke rumah kakek atau neneknya.
Pengamatan lain yang didapati misalnya seperti pekerjaan orang tuanya yang hanya sebagai petani, tetapi petani yang memiliki lahan berhektar-hektar yang sekarang ini mereka jual sampai milyaran rupiah, dipakai tuk bangun rumah, mobil, atau bahkan pergi umroh.
Saya merasa kasihan dengan mahasiswa-mahasiswa biasa yang harus membayar UKT tetapi harus memikirkan kondisi finansial orang tua nya juga, membayar UKT saja sulit apalagi biaya hidup yang bisa dibilang tidak sedikit. Tak jarang mereka berkuliah sambil bekerja demi mengurangi beban orang tua mereka. Sementara itu, para penerima KIP hidup enak memakan uang negara.
Kelakuan mereka sama dengan apa yang dilakukan pejabat saat ini, digaji negara yang uang nya berasal dari pajak rakyat sendiri, hidup bermewah-mewahan sedangkan rakyat biasa untuk makan saja susah.
Perlu ditekankan disini saya tidak mengkritik semua mahasiswa penerima KIP, saya menyoroti para penerima KIP yang mengakunya tidak mampu padahal ia mampu.
Tinggalkan Balasan