Apakah Indonesia Akan Hancur?


Seseorang yang sangat terkenal di negara tetangga kita yakni Singapura, yaitu Lee Kuan Yew yang memiliki julukan The Founding Father of Singapore. Pada tahun 1960 negara Singapura yang merupakan negara yang kecil, tidak memiliki sumber daya alam, penduduknya yang sedikit, dan merdeka nya pun telat jika dibandingkan dengan negara kita Indonesia itu bisa mencapai semua kehebatannya dari berbagai aspek. Mulai dari aspek ekonomi sampai kesejahteraan rakyat yang sekarang masih memegang status rakyat yang paling makmur diseluruh dunia (urutan ketiga dari irlandia dan luxembourg. Sumber: CNNIndonesia).

Lalu, jika kita bandingkan dengan kondisi negara kita Indonesia yang merdeka nya lebih dahulu dibanding Singapura, yang lahir sudah memiliki sumber daya alam yang berlimpah, populasi yang masif, akan tetapi masih stagnan. Jika dikritik keras beberapa hal bahkan mengalami kemunduran. Sukidi Mulyadi mengatakan bahwa “Kita tumbuh menjadi masyarakat yang berpegang teguh pada tradisi feodalisme, tradisi koncoisme, tradisi nepotisme, tradisi politik balas budi, dan, tradisi yang menekankan senioritas dan konflik kepentingan.” (Program Visi Negarawan, Stasiun TV Metro TV) Pertanyaanya sekarang, apakah itu semua benar? dan jikalau benar, salah siapa?

Penulis memiliki pandangan yang kuat bahwa kepemimpinan adalah segalanya. Dalam bisnis jika terdapat masalah CEO yang salah, di organisasi jika terdapat masalah ketua yang salah, dan jika suatu negara bermasalah yang salah ialah pemerintahnya. Salah satu prinsip kepemimpinan yakni segala sesuatu yang salah di dalam atau di luar yang menyebabkan kegagalan selama memimpin adalah salah pemimpin sebab ia memimpin. Karena jika kita berbicara tentang negara maju disegala perkembangan ekonomi diseluruh negara di dunia, kesuksesannya itu bergantung pada pemerintahnya. Maka jika kita ingin membawa Indonesia ke masa kejayaannya, maka kita harus percaya dan bergantung sama pemerintah/pemimpin kita yang akan membawa negara Indonesia ke masa kejayaannya. Pemimpinlah yang mempunyai pertanggungjawaban paling besar untuk membawa sebuah organisasi ke masa depan. Lantas demikian, apa yang menjadi kekurangan dari kepemimpinan di negara kita Indonesia?

Kepemimpinan Berbasis Meritokrasi
Meritokrasi merupakan sistem politik yang mana siapapun berhak untuk menjadi pemimpin tetapi harus berdasarkan pada kemampuan atau prestasi orang-orang yang kompeten yang dapat memegang jabatannya, bukan dari aspek kekayaan, kelas sosial, atau bahkan titip jabatan.

Melihat kembali saat Indonesia pertama kali merdeka tahun 1945 yang sekarang sudah sekitar 79 tahun sejak merdeka, tetapi tingkat kemiskinan masih di angka 9,36% (per Maret 2023 menurut BPS) dan kesenjangan ekonominya masih signifikan. Tentu disini kita tidak membandingkan negara Indonesia dengan Singapura apple to apple, dari mulai kepulauan hingga letak geografis, dahulu Indonesia dijajah oleh Belanda yang cukup menjadi parasit dan Singapura dijajah oleh Inggris. Memang dari keduanya memiliki starting poin yang berbeda, akan tetapi topik yang ingin dibawa disini adalah apa yang dilakukan oleh Lee Kuan Yew untuk ia nge-progres Singapura dari negara yang bobrok menjadi negara yang super power.

Dari hal itu, Lee Kuan Yew hanya fokus pada dua hal yakni self reliant dan efficient. Self-Reliant atau mandiri, Lee Kuan Yew mengetahui bahwa Singapura itu tidak memiliki sumber daya alam yang bahkan untuk menanam pun tidak bisa. Ia sadar sebagai pemimpin melihat negaranya dengan warga-warganya yang masih belum berpendidikan, lalu ia berpikir bahwa ini adalah aset yang paling kuat. Super power nya Singapura ialah orang-orangnya. Bagaimana membuat mereka semua bisa sejahtera, produktif, dan mempunyai mental yang kuat dan mendukung apa yang pemerintah lakukan yang mana hal ini adalah fokus keduanya yakni to be efficient.

Lee Kuan Yew fokus kepada zero tolerance. Yang menjadi pro-kontra ialah Singapura itu dilihat sebagai negara yang otoritarian. Singapura merupakan negara yang keras, dan saking kerasnya mereka bisa punya budaya anti korupsi yang no nego yang mana pelakunya dihukum keras, tetapi dibalik itu pegawai nya digaji sangat tinggi. Mengapa? Lee Kuan Yew mengatakan, “if there’s no smart talent in the government, people will suffer” artinya, rakyat akan menderita jika orang-orang yang ada di pemerintahan itu goblok. Itulah mengapa tujuannya ia ingin menarik semua bakat yang cerdas.

Salah satu prinsip yang dikatakan oleh Raymond Chin, “Lakukan hal yang benar, dan orang-orang akan menyukaimu. Bukan melakukan hal yang orang sukai agar terlihat benar.” Karena Lee Kuan Yew ini efficient, nilai-nilai yang ada dalam meritokrasi, semua orang yang ada dalam pemerintahannya yang kompeten, tidak ada yang namanya titip-titip jabatan ,dan tidak ada yang diberikan hadiah. Sampai di tahap semua kebijakan dan janji-janji yang ia berikan kepada masyarakatnya tidak ada satupun yang tidak tersampaikan dengan baik. Jikalau ada pun sedikit.

Dan balik lagi, mengapa kepemimpinan di sebuah negara itu bisa dikatakan andil paling besar terhadap kemajuan negara. Pertanyaanya, coba kita melihat kebelakang apa yang terjadi pada negara kita Indonesia?.

Kakistokrasi & Krisis Demokrasi
Kalau tadi kita sudah mengetahui tentang meritokrasi yang mana menaruh orang yang tepat di posisi yang benar, lawan kata nya ialah kakistokrasi. Jika disebuah negara terdapat kakistokrasi maka itu adalah sebuah kehancuran bagi negara tersebut yang mana orang-orang yang berada diposisi tertentu bisa menjabat dan memimpin negara yang pemimpinnya itu dari warga negara paling buruk, yang paling tidak memenuhi syarat, dan paling tidak bermoral. Dan itu merupakan definisi dari kakistokrasi.

Di sini penulis tidak mengatakan bahwa Indonesia ada ditahap itu, tetapi bisa saja ini sebuah kemungkinan. Ada baiknya pula kita melihat pejabat-pejabat di posisi tertentu, apakah prestasi dan kredibilitas mereka itu kompeten dan memadai untuk posisi tertentu? kalau tidak negara akan hancur. Salah satu hal yang di ingatkan oleh Sukidi dalam acara TV nya itu adalah politik balas budi, bantu saya sekarang dan saya akan memberi anda posisi di masa depan. Hal tersebut merupakan hal yang sering dikritik oleh masyarakat, sampai-sampai penulis pun berfikir ya sudah lah asalkan orang yang dititipkan memang memiliki kredibilitas.

Tetapi jika kita melihat berita yang pernah viral perihal kebobolan dan background pengalaman pendidikan dari orang yang menjabat di posisi tertentu tidak sejalan. Tentu saja, saya atau rakyat mungkin akan bertanya-tanya, bisa apa tidak nilai-nilai meritokrasi seperti di Singapura? Semua bergantung pada pemimpinnya, lebih tepatnya ia berani apa tidak untuk merombak semuanya, sesusah apapun demi kepentingan rakyat masa depan.

di sini penulis bukan bermaksud untuk meninggi-ninggikan Lee Kuan Yew yang mungkin dikira mendukung nilai-nilai diktator. Jangan salah mengira, Lee Kuan Yew pun bukan orang yang sempurna. Ia mempunyai branding yang diktator dan sangat pro dalam membungkam semua yang tidak mendukung pemerintah atau tidak mengikuti visi dan misi pemerintahnya. Termasuk membatasi media, semua media dijagain dan semua platform wajib meluruskan semua narasi pemerintah dan dilarang mengkritik pemerintah. Lee Kuan Yew mengatakan bahwa demokrasi itu tidak bagus untuk negara berkembang. Kacuali, kasusnya seperti Amerika yang mereka telah mengadupsi nilai-nilai itu sejak lama. Sekilas penulis pun tidak setuju akan hal itu, akan tetapi hal ini yang menjadi fokus berpikir. Mengapa kita melakukan hal yang kita lakukan sekarang? Karena kita khawatir, disatu sisi kalau misalnya pemerintah atau pemimpin negara melakukan semuanya dengan benar, rakyat selalu diprioritaskan, hasilnya selalu memuaskan dan nyata, dan kita Indonesia menjadi negara yang lebih baik, akan nurut dan taat pada pemerintah tidak? Menurut penulis, kalau saya senang, sejahtera, dan makmur, apa alasan saya untuk menyuarakan hal-hal yang tidak enak? Demokrasi yang kita pegang, memiliki konsep dari rakyat untuk rakyat kedengarannya bagus. Semua aspirasi rakyat dan kebutuhan rakyat itu jadi selalu didengar, dan itu type kepemimpinan yang dipegang di Indonesia. Pemerintah kita pro rakyat kan?

Disini penulis mencoba untuk merenungkan jika misalnya Indonesia memiliki pemimpin yang benar dan kuat Indonesia itu bisa menjadi lebih maju kalau lebih kearah otoritarian dengan tanda kutip kalau dengan pemimpin yang benar. Karena dengan kediktatorannya Lee Kuan Yew, dari tahun 1965 ia berhasil membuat kebijakan Central Provident Fund atau disingkat CPF (sama seperti yang ada di Indonesia sekarang yakni Tapera) yang menghasilkan 80% warganya mempunyai rumah. Di tahun 1980 Lee Kuan Yew menaikkan skill warganya dengan mengadopsi hightech industry (sektor industri yang menggunakan teknologi canggih dalam proses produksi, pengembangan produk, dan layanan). Akan tetapi, ia tidak melakukan manufaktur yang lama. Investasi terus dilakukan kepada human capital, dan terus memancing investasi asing dengan memberikan mereka keringanan pajak melalui tax holiday, serta membawa pelatihan orang dari luar negeri untuk melatih orang Singapura sampai warganya memiliki high skill yang mendapatkan pendapatan cukup hingga dapat dikatakan makmur, lalu diputar lagi untuk investasi ke warganya. Hal ini sering disebut sebagai productivity loop atau siklus produktivitas yang muncul dari perkembangan teori ekonomi dan manajemen bisnis modern yang dilakukan oleh Lee Kuan Yew.

Akan tetapi, jika kita berbicara tentang pencapaian dan bagaimana pemimpin bisa mencapai pencapaiannya?

Nilai Kepercayaan
Pemimpin yang terpilih dalam pemilihan umum itu sebenarnya tidak mesti pemimpin yang terbaik. Namun, pemimpin yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi dari masyarakat dan ini adalah cara kerjanya demokrasi yang dimana rakyat yang memilih. Itulah pentingnya nilai kepercayaan.

Namun, yang membuat penulis sedih ialah nilai kepercayaan yang di era digital modern sekarang sering disalahartikan sebagai popularitas. Kepercayaan itu berbeda dengan popularitas, kembali ke prinsip yang disampaikan oleh Raymond Chin “Lakukan hal yang benar, dan orang akan menyukaimu. Bukan melakukan hal yang orang sukai agar terihat benar” kacuali memang ada orang yang tidak suka melihatmu melakukan hal yang benar.

Kita lihat misalnya salah satu politisi yang ada di Indonesia yaitu Basuki Tjahaja Purnama atau sering dipanggil Ahok. Dengan segala macam blunder nya menurut penulis, Ahok itu memiliki sisi kepemimpinan yang tegas dan baik. Di tahun 2016 misalnya, Kishore Marbubani seorang dekan dari Lee Kuan Yew University Singapore dalam acara World Economic Forum beliau mengakatan, “Anda beruntung karena punya gubernur seperti Ahok. Dia seolah mengingatkan saya seperti Mister Lee Kuan Yew saat masih muda.” Antara Ahok dengan Lee Kuan Yew memiliki kesamaan yakni sama-sama berorientasi praktik bukan hanya teori diatas kertas belaka. Artinya, mengerjakan sesuatu sampai selesai dan sampai tuntas, itu yang dilakukan oleh Lee Kuan Yew yang dilihat dari Ahok.

Tetapi, seperti yang kita sama-sama ketahui pada 9 Mei 2017, yang dimana Ahok divonis 2 tahun penjara atas kasus penodaan agama. Terkadang kita semua keliru terhadap kepercayaan dan popularitas, pemimpin yang baik itu terkadang harus melakukan suatu hal yang tidak populer tetapi bisa memajukan negara. Dan benar, bahwa pemerintah itu butuh yang namanya kemenangan kecil untuk pelan-pelan membangun kepercayaan masyarakat, yang mana kemenangan kecil itu harus dilakukan dengan result atau output dan bukan hanya sekedar mengusung apa yang mendukung popularitas.

Seperti yang dikatakan di awal bahwa Lee Kuan Yew itu memiliki branding yang diktator. Kalau kita bicarakan ke seluruh dunia siapa yang suka dengan diktator balik lagi kepertanyaan mengapa dia dipilih? Karena ia berhasil mendapatkan kepercayaan dari masyarakatnya, ia memastikan kesejahteraan untuk rakyatnya. Disini kita bisa melihat benang merahnya jadi pemimpin yang pintar dan tegas seluruh negara dan keseluruhan rakyatnya susah untuk maju kalau rakyatnya tidak percaya dengan pemerintahnya.

Krisis Korupsi
Kita semua merasa bahwa korupsi itu ialah seperti kehilangan uang yang seharusnya bisa dipakai untuk hal lain yang lebih baik. Kenyataanya, budaya korupsi itu jauh lebih destruktif jika dibandingkan dengan sekedar nilai moneter atau monetary value, karena jika kita lihat sejarah di zamannya Soeharto (Mantan Presiden kedua Indonesia) ekonomi Indonesia tumbuh dengan pesat, bahkan ada yang mengatakan bahwa Lee Kuan Yew dengan Soeharto itu adalah bestie. Akan tetapi disaat yang sama, era kepemerintahan dengan korupsi yang masif yang membuat kita berfikir walaupun ada korupsi tidak akan jadi masalah karena negara kita maju.

Namun, secara bersama kita cermati analogi seperti ini, semisal kita disuruh bangun jembatan untuk warga dengan biaya 100 juta, 60 juta masuk kantong dan yang dipakai bangun hanya 40 juta. Di era pemerintahan yang baik benar bahwa jembatannya bisa dipakai dan seluruh masyarakat senang, analoginya ekonominya bisa maju. Akan tetapi, menjalankan negara itu tidak hanya berfikir selama periode menjabat. Mungkin periode presiden atau pemimpin selanjutnya ketika melewati jembatan tersebut akan hancur, karena seharusnya 60 juta yang masuk kantong itu bisa membuat jembatan yang lebih tahan lama karna melihat efek jangka panjang. Lee Kuan Yew pun sadar tentang efek jangka panjang, yang mana ia membuat sebuah perencanaan 100 tahun kedepan yang kebetulan pula semua tercapai dalam kurun waktu 40 tahun.

Esensinya dengan korupsi cukup simpel sebenarnya yakni penyimpangan terhadap rencana yang seharusnya. Akan tetapi psikologi manusia itu tidak bisa membedakan penyimpangan A dan pengimpangan B, kalau misalnya kita sudah dibiasakan dengan budaya menyimpang dalam bentuk korupsi sangat amat memungkinkan penyimpangan lain bisa terjadi seperti kebijakan menjadi setengah-setengah, keputusan yang tidak tepat, dan lebih parahnya rencana yang baik gagal karena eksekusi yang buruk.

Sebuah istilah atau konsep yang sering dibahas dalam literatur mengenai perilaku sosial dan psikologi seperti Erich Fromm, Herbert Marcuse, dan Noam Chomsky yakni dikenal sebagai apathetic disillusionment yang merujuk pada keadaan dimana seseorang merasa kecewa atau kehilangan harapan terhadap suatu sistem, ide, atau entitas, tetapi tidak menunjukkan minat atau reaksi emosional yang kuat terhadap kondisi tersebut. Bisa dikatakan warga Indonesia sudah berada ditahap apathetic disillusionment tersebut. Mengapa? karena bisa dilihat dalam sebuah kasus yang ada di media, komentar-komentar dari orang-orang biasanya seperti, “Siapapun pejabat, ujung-ujungnya juga korupsi. Percuma berharap perubahan.” yang mana hal ini menimbulkan sifat apatis terhadap sesuatu. Dan ini adalah situasi yang fatal.

Jika misalnya ada problem yang besar, siapa yang bertanggungjawab atas itu? Balik lagi ke prinsip awal pemimpin. Konsep yang selama ini kita berfikir bahwa masuk ke pemerintahan harus bekerja keras didalamnya, membuat kebijakan yang menyejahterakan dan memajukan negara.

Sebuah perspektif yang dianggap melenceng yang tertanam pada orang-orang di Indonesia sekarang ialah masuk ke pemerintahan agar kaya raya. Mengapa artis-artis atau influencer yang ikutan berpolitik, padahal kita tahu mereka tidak ada kompetensinya bisa menjabat dan kalau mereka harus sesuai dengan prinsip pada paragraf sebelumnya bahwa masuk kenpemerintahan harus bekerja keras didalamnya apakah mereka akan tetap nyaleg? Karena kebijakan-kebijakan yang bagus itu hanya bisa muncul dari orang yang kompeten dan mau bekerja keras.

Kita semua sadar bahwa negara yang makmur itu adalah hasil dari pemerintahan yang kuat, pintar, memiliki nyali, dan berintegritas. Tidak perlu menebak-nebak penulis pro perubahan atau pro keberlanjutan, penulis pro Indonesia. Dan untuk pro Indonesia harus memiliki keduanya bukan? Ubah yang menjadi sampah dari culture atau kebiasaan kita dan lanjutkan apa yang baik.

Penulis bukan orang yang hebat, bukan orang seperti Lee Kuan Yew atau Ahok. Tetapi kalau melihat dari segala kondisi dan kekhawatiran yang dipunyai terhadap Indonesia, yang harus dilakukan ialah; Pertama, tempatkanlah orang-orang yang berkompeten, berintegritas, dan nasionalis, diposisi yang memang membutuhkan. Konsep meritokrasi yang harus ditanamkan pada pemerintahan dan malah jangan sampai orang-orang yang sebaliknya yang berada diposisi tersebut. Kedua, Memicu kembali kepercayaan masyarakat dengan memberi dampak yang positif dan dapat bertahan dalam jangka panjang. Dan hal yang terpenting dalam hal ini adalah komunikasi. Niat dan hasil yang baik belum tentu bisa diterima dengan baik oleh masyarakat kalau tidak dikomunikasikan dengan baik kepada rakyat. Karena penulis percaya bahwa masyarakat itu pintar dan pelan-pelan mereka akan bisa membedakan antara popularitas dengan kepercayaan yang real. Kalaupun harus membuat kebijakan yang tidak populer, maka lakukan saja selagi itu baik dan dapat diterima oleh rakyat.

Maka dari itu menurut penulis sebagai penutup, bahwa waktu kita sekarang untuk menuju ke Indonesia Emas 2045 sekitar dua dekade ke depan. Dengan segala kekhawatiran yang dituangkan oleh penulis, apakah Indonesia mampu mencapai Indonesia Emas 2045? Karena jika dilihat ke depan kalau kekhawatiran itu tidak pula diindahkan dan direfleksikan oleh para pemimpin kita. Maka Indonesia Emas 2045 hanya menjadi angan-angan saja.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *