
Kekerasan seksual menjadi salah satu kasus yang rentan terjadi kepada khalayak ramai terutama perempuan, korban dari kekerasan seksual sendiri kerap kali disalahkan dalam hal ini dengan alasan “Ya kenapa ga ngelawan? Berarti memang mau kan?,” opini ini yang menjadi batu untuk para korban kekerasan seksual dalam bersuara, rasa takut untuk dihakimi oleh masyarakat, disalahkan karena tidak melawan, bahkan takut kehilangan reputasi baik karena merasa dirinya telah dinodai dan kotor. Apakah layak korban merasa terintimidasi? Apakah intimidasi masyarakat adalah bentuk keadilan hukum negara kita? Apakah benar negara kita melindungi dan menjamin kesehatan batin korban kekerasan seksual? Pertanyaan ini menjadi pertanyaan yang selalu hadir di benak saya.
Kekerasan seksual yang tidak pandang tempat bahkan siapa yang dapat melakukan kekerasan pun tidak mengecualikan universitas dan tenaga pendidik, selama ini universitas menjadi jenjang keberanian dalam penyampaian opini, keberanian untuk melangkah lebih maju dan kuat dari jenjang sebelumnya. Namun, bagaimana jika ternyata tokoh-tokoh yang selama ini mahasiswa dan mahasiswi lihat di kampus ternyata adalah pelaku kekerasan seksual, saya sebagai seorang mahasiswi percaya jika profesi dosen adalah profesi yang baik dan bermartabat tapi sudut pandang ini tidak mengubah fakta bahwa masih ada oknum-oknum dosen yang melakukan kekerasan seksual.
Saya juga mengkritik seluruh tenaga akademik yang menjadi tokoh-tokoh ‘Pelindung’ dari oknum dosen yang melakukan kekerasan seksual dengan alasan menjaga nama baik instansi atau bahkan dengan alasan sesama rekan kerja, mahasiswa/i dituntut untuk menjadi kelompok-kelompok kritis yang dapat menyikapi secara bijak permasalahan-permasalahan yang ada di tengah masyarakat termasuk masalah kekerasan seksual. Lantas, apakah bijak menutupi, melindungi, tutup mata, atau bahkan membela oknum dosen yang ternyata melakukan kekerasan seksual dengan adanya saksi yang melihat tindakan tersebut? Apakah tindakan tersebut yang ingin diperlihatkan kepada mahasiswa/i sebagai contoh bersikap?.
Saya berharap melalui tulisan ini para tenaga akademik tidak lagi menutupi dan membela sesama rekan kerja yang ternyata menjadi oknum pelaku kekerasan seksual agar tidak ada lagi rasa tidak nyaman, rasa tidak aman di lingkungan kampus terlebih pada mahasiswi. STOP VICTIM BLAMING!
Tinggalkan Balasan