Pada tahun 2021, di Probolinggo, ada remaja laki-laki berusia 16 tahun yang diperkosa oleh biduanita yang berusia 28 tahun selama 3 hari berturut-turut. Kasus ini menunjukkan bahwa tidak hanya perempuan, laki-laki pun bisa menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual. Kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap laki-laki bukanlah hal yang baru. Dilansir dari Kompas.com, pada tahun 2016, terjadi pencabulan oleh seorang pedangdut yaitu Saiful Jamil terhadap seorang anak laki-laki di bawah umur. Kala itu, korban berinisial DS melaporkan Saipul Jamil karena melakukan tindak asusila terhadap dirinya. Saipul Jamil disebut meminta DS untuk menginap di rumahnya dan memberikan pijatan. DS sempat menolak dan akhirnya tidur sekitar pukul 04.00 WIB. Saat DS sedang tertidur lelap, Saipul Jamil akhirnya melakukan tindakan tidak senonoh.[1]
Data Kekerasan dan Pelecehan Seksual terhadap Laki-laki
Dalam jurnal yang berjudul “Pelecehan Seksual Pada Laki-laki dan Perspektif Masyarakat Terhadap Maskulinitas (Analisis wacana kritis Norman Fairclough)”, survei Koalisi Ruang Publik Aman terhadap 62.224 responden, 1 dari 10 laki-laki pernah mengalami pelecehan di ruang publik. KPAI menyatakan bahwa korban kekerasan seksual di tahun 2018 lebih banyak dialami anak laki-laki. Association of Woman for Action and Research (AWARE) membuat studi terhadap 500 responden dan 92 perusahaan di Singapura. Salah satu temuannya menyatakan 21% laki-laki pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. US Equal Employment Opportunity Commission (EEOC) mencatat pada tahun 2011 terdapat 16,1% kasus pelecehan seksual yang dilaporkan oleh laki-laki. Dua tahun kemudian presentase ini bertambah hingga 17,6%. Dikutip dari health.liputan6.com, Dr. Gina Anindyajati, Sp. Kj mengatakan di Asia Pasifik terdapat sekitar 1,5% sampai 7,7% laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual.[2]
Dari data di atas, dapat diketahui bahwa tak hanya kaum perempuan yang rentan dan sering mengalami kekerasan dan pelecehan seksual, kaum laki-laki pun juga sering mendapatkan dan mengalami hal-hal yang berbau pelecehan dan kekerasan seksual. Hal ini memicu timbulnya satu pertanyaan, mengapa dari sekian banyaknya data, hanya sedikit kasus kekerasan dan pelecehan terhadap laki-laki yang terungkap di publik?
Maskulinitas
Dilansir dari website The Conversation, maskulinitas merujuk pada peran, perilaku, dan atribut yang dianggap sesuai untuk anak laki-laki dan laki-laki dalam suatu masyarakat. Singkatnya, maskulinitas mengacu pada ekspektasi masyarakat terhadap laki-laki. Di banyak masyarakat, anak laki-laki dan laki-laki diharapkan untuk menjadi kuat, aktif, agresif, tangguh, berani, heteroseksual, tidak ekspresif secara emosional, dan dominan. Hal ini dipaksakan oleh sosialisasi, media, teman sebaya, dan sejumlah pengaruh lainnya. Dan hal ini terlihat dalam perilaku banyak anak laki-laki dan laki-laki.[3] Stigma inilah yang membuat banyak korban laki-laki tidak mau speak up atau membuka diri terhadap apa yang telah dialami, karena takut dianggap lemah. Dilansir dari mediaindonesia.com, seorang Psikolog klinis dewasa, Nirmala Ika Kusumaningrum mengatakan stereotipe gender maskulinitas, yang mengandaikan laki-laki sebagai sosok kuat dan tangguh, dapat membuat seorang laki-laki korban pelecehan seksual memilih untuk bungkam bahkan takut melaporkan kasusnya. Stereotip laki-laki harus kuat yang diamini masyarakat dapat membuat stigma pada korban pelecehan seksual menjadi lebih berat. Laki-laki yang mengalami pelecehan pun akhirnya memilih bungkam dan tidak berani melaporkan kasusnya.[4] Di satu sisi, jika korban mulai berani untuk membuka diri atau speak up mengenai apa yang menimpanya, di sinilah terjadi diskriminasi. publik akan meragukan cerita yang dialami korban karena adanya stereotip bahwa laki-laki harus kuat dan tidak mungkin mendapatkan serta mengalami pelecehan seksual.
Hal-hal seperti ini seharusnya dibenahi bersama-sama dalam hidup bermasyarakat. Pandangan mengenai laki-laki itu kuat, tidak boleh berekspresi secara emosional, dominan, dan lain sebagainya bisa membuat suatu ketimpangan dan suatu cara pandang di masyarakat bahwa laki-laki tidak mungkin menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual. Laki-laki merupakan manusia pada umumnya yang sama dengan perempuan. Maka dari itu, mari bersama-sama memperjuangkan keadilan dan kesetaraan dalam hidup bermasyarakat.
[1] Rakhmat Nur Hakim, “Perjalanan Kasus Saipul Jamil dari Pencabulan terhadap Anak, Penyuapan Panitera Pengadilan, hingga Bebas”, (https://nasional.kompas.com/read/2021/09/06/10561441/perjalanan-kasus-saipul-jamil-dari-pencabulan-terhadap-anak-penyuapan?page=all, diakses pada 31 Mei 2025, pada pukul 10.43 WITA).
[2] Adita Miranti, Yudi Sudiana, “Pelecehan Seksual Pada Laki-laki dan Perspektif Masyarakat Terhadap Maskulinitas (Analisis wacana kritis Norman Fairclough)”, (Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia)2021, hlm. 2.
[3] Michael Flood, “Apa itu ‘toxic masculinity’ dan dari mana asalnya?”, (https://theconversation.com/apa-itu-toxic-masculinity-dan-dari-mana-asalnya-203558, diakses pada 31 Mei 2025, pada pukul 11.05 WITA).
[4] Basuki Eka Purnama, “Ini Penyebab Laki-Laki Korban Pelecehan Seksual Memilih Bungkam”, (https://mediaindonesia.com/humaniora/598864/ini-penyebab-laki-laki-korban-pelecehan-seksual-memilih-bungkam#google_vignette, diakses pada 31 Mei 2025, pada pukul 13.36 WITA).
Tinggalkan Balasan