Pancasila sebagai dasar negara Indonesia bukan hanya sebatas simbol atau dokumen historis belaka. Namun, Ia adalah roh yang seharusnya menjiwai setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Lima sila yang terkandung di dalamnya, terutama sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, seharusnya menjadi fondasi bagi terciptanya kerukunan antar umat beragama di negeri tercinta kita ini. Namun, ironinya, nilai luhur ini semakin hari justru tampak memudar.1
Toleransi antarumat beragama kian digerus oleh fanatisme sempit, ujaran kebencian, hingga kebijakan diskriminatif yang kerap menjadikan kelompok minoritas sebagai korban.
Indonesia dikenal sebagai negara dengan keragaman agama dan keyakinan yang sangat besar. Selain enam agama yang diakui secara resmi oleh negara, seperti Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Masih banyak kepercayaan lokal yang dianut oleh masyarakat adat. Seharusnya, keberagaman inilah menjadi kekayaan yang harus dirayakan, bukan menjadi sumber konflik. Namun fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya.
Kasus-kasus intoleransi kerap mencuat ke permukaan. Misalnya, penolakan pembangunan rumah ibadah seperti gereja atau vihara di beberapa daerah dengan dalih mayoritas tidak menyetujui, tidak adanya sosialisasi, ketidakpercayaan terhadap pengelolaan rumah ibadah. Sebuah laporan dari Setara Institute tahun 2023 mencatat adanya 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Angka ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 175 peristiwa dengan 333 tindakan, termasuk penutupan paksa rumah ibadah dan pelarangan kegiatan keagamaan terhadap kelompok minoritas.2
Hal ini tentunya menunjukkan bahwa nilai-nilai Pancasila, terutama semangat toleransi dan kebebasan beragama, belum sepenuhnya mengakar dalam masyarakat. Padahal, Pancasila jelas menjamin keberadaan semua agama dan keyakinan untuk hidup berdampingan secara damai di indonesia.
Negara memiliki tanggung jawab utama untuk menegakkan Pancasila, bukan sekadar menjadikannya sebuah jargon kosong dalam pidato kenegaraan. Sayangnya, dalam beberapa kasus, justru aparat negara ikut terlibat atau bersikap pasif dalam menghadapi tindakan intoleransi ini. Contohnya bisa dilihat dalam kasus penutupan Gereja Yasmin di Bogor atau GKI di Bekasi yang sudah bertahun-tahun tidak menemukan titik terang, meskipun telah ada keputusan hukum yang membolehkan gereja tersebut beroperasi kembali.3
Sikap permisif dari negara ini mengindikasikan adanya krisis dalam penerapan nilai Pancasila secara konsisten. Jika negara tidak menunjukkan keberpihakannya pada nilai toleransi dan keadilan, maka masyarakat pun akan kehilangan arah.
Di sisi lain, masyarakat juga seharusnya memiliki tanggung jawab besar. Pendidikan karakter yang berbasis pada Pancasila perlu ditanamkan sejak dini, baik melalui lembaga pendidikan formal maupun dalam lingkungan keluarga dan sosial. Peran tokoh agama dan tokoh masyarakat pun sangat penting dalam menyuarakan nilai-nilai damai dan menghargai perbedaan.4
Sangat ironis ketika Indonesia yang mengklaim diri sebagai negara berasaskan Pancasila, justru menjadi ladang subur bagi intoleransi. Agama yang seharusnya menjadi sumber kedamaian malah digunakan sebagai alat pembenaran untuk melakukan tindakan diskriminasi terhadap kelompok lain yang tidak disukai. Bahkan, media sosial kerap menjadi medan pertempuran terhadap ujaran kebencian berbasis agama yang semakin memperuncing perpecahan di indonesia.
Fenomena ini menjadi tanda bahwa Pancasila telah mengalami disorientasi dalam penerapannya. Kita lebih sibuk menggelar upacara peringatan Hari Lahir Pancasila setiap 1 Juni, tetapi abai dalam menanamkan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sudah saatnya kita berhenti menjadikan Pancasila sebagai simbol belaka. Perlu adanya gerakan revitalisasi Pancasila dalam bentuk aksi nyata, bukan sekadar retorika. Pemerintah harus tegas dalam menindak segala bentuk pelanggaran terhadap kebebasan beragama. Aparat penegak hukum tidak boleh tunduk pada tekanan massa dalam kasus intoleransi. Pendidikan ke bhinekaan harus diperkuat dalam kurikulum, dan tokoh agama harus aktif menyuarakan moderasi beragama.
Revitalisasi ini juga membutuhkan peran aktif dari masyarakat sipil, organisasi pemuda, dan media. Budaya saling menghargai harus dibangun dari level paling bawah: Mulai dari keluarga, sekolah, hingga komunitas lokal.
Nasib Pancasila kini tengah diuji. Apakah kita akan membiarkannya menjadi jargon kosong yang kehilangan makna, ataukah kita akan kembali memaknainya sebagai dasar hidup bersama dalam keberagaman? Hilangnya toleransi antarumat beragama bukan hanya mencederai sila pertama, tetapi juga menghancurkan fondasi kebangsaan kita. Jika Pancasila tidak lagi hadir dalam kehidupan nyata rakyat Indonesia, maka keberadaannya hanya akan menjadi ironi sejarah di tengah negeri yang mengaku ber-Bhineka Tunggal Ika.
- Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. ↩︎
- SETARA Institute, “SETARA INSTITUTE CATAT 329 PELANGGARAN KBB SEPANJANG 2023”, (https://setara-institute.org/setara-institute-catat-329-pelanggaran-kbb-sepanjang-2023/, diakses pada 01 Juli 2025, pada pukul 20.22 WITA). ↩︎
- M Yusuf Manurung,“Kasus GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia Menggantung, Ini Kata Jemaah“, (https://www.tempo.co/arsip/kasus-gki-yasmin-dan-hkbp-filadelfia-menggantung-ini-kata-jemaah-670968, diakses pada 01 Juli 2025, pada pukul 20.41 WITA). ↩︎
- Komnas Perempuan, “Siaran Pers Komnas Perempuan Merespons Tindakan Intoleransi dan Kekerasan terhadap Mahasiswa Universitas Pamulang“, (https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-merespons-tindakan-intoleransi-dan-kekerasan-terhadap-mahasiswa-universitas-pamulang, diakses pada 01 Juli 2025, pada pukul 21.08 WITA). ↩︎
Tinggalkan Balasan