Oleh: Faisal Hidayat (Mahasiswa FH Unmul)
Di negeri ini, suara sirine lebih dihargai daripada suara dosen. Gedung-gedung kampus dibiarkan keropos, perpustakaan sepi buku, laboratorium menua bersama teknologi kadaluarsa. Tapi anggaran untuk Polri justru terus membengkak seakan-akan yang paling mendesak bukan pengetahuan, melainkan pencegahan terhadap mahasiswa yang terlalu pintar.
Baru-baru ini, pemerintah melakukan efesiensi di dunia pendidikan dengan alasan “refocusing” dan “penataan ulang anggaran negara”. Sementara itu, anggaran Polri dinaikkan, seperti biasa, tanpa banyak tanya. Tidak ada gelisah di parlemen, tak ada debat serius di ruang publik. Semua tenang karena mungkin, membungkam lebih penting daripada mencerdaskan.
Sungguh menarik. Kampus dituntut mencetak lulusan unggul, berdaya saing global, dan adaptif menghadapi Revolusi Industri 5.0 tapi uang sakunya dicabut, internetnya dilambat, infrastrukturnya diabaikan. Mungkin yang diinginkan negara hanyalah lulusan yang unggul dalam diam, adaptif dalam patuh, dan kompetitif dalam hal mencari jalan pintas.
Sementara itu, Polri terus dibanjiri dana. Mungkin agar makin banyak kamera pengawas terpasang, makin tebal tameng untuk menghadapi protes, dan makin banyak mobil lapis baja yang siaga menghadapi ancaman terbesar negeri ini, mahasiswa yang membaca buku dan turun ke jalan.
Apa yang sebenarnya ditakuti negara? Adakah mahasiswa yang sedang meneliti kebijakan publik lebih berbahaya dari elite yang hobi menghapus jejak? Ataukah seminar tentang konstitusi lebih mengancam stabilitas dibanding kongres partai politik yang penuh kompromi?
Efesiensi dana kampus bukan hanya persoalan anggaran. Ia adalah simbol bahwa negara tak lagi percaya pada nalar. Bahwa logika lebih berbahaya dari logistik. Dan bahwa dalam daftar prioritas kekuasaan, yang berseragam selalu menang dari yang berintelektual.
Sebuah bangsa yang memilih mendanai aparat lebih besar dari akademisi sebetulnya sedang menunjukkan siapa musuh sebenarnya bukan terorisme, bukan kejahatan, tapi potensi perubahan. Karena sejarah menunjukkan bukan senjata yang menumbangkan rezim otoriter, tapi pikiran yang bebas. Dan pikiran yang bebas sering lahir dari kampus.
Jadi jangan heran jika kampus mulai dikeringkan dan aparat digemukkan. Itu bukan salah ketik. Itu kesengajaan. Karena negeri ini lebih nyaman hidup dalam kebodohan yang terjaga, daripada kecerdasan yang berani bertanya.
Tinggalkan Balasan