Oleh: Faisal Hidayat [Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman]
Barang lebih berharga dari manusia? Jangan pernah terjadi. Kalau sampai dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) nanti, barang lebih berharga daripada manusia, RKUHAP yang saat ini sedang dibahas DPR akan menjadi “tragedi kemanusiaan”.
Bayangkan Anda sedang membaca pasal demi pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) terbaru. Anda berharap menemukan secercah cahaya tentang keadilan yang lebih manusiawi, penghormatan terhadap hak asasi, dan jaminan proses hukum yang adil. Tapi sayangnya, yang Anda temukan justru pasal-pasal yang tampaknya lebih sibuk melindungi barang bukti ketimbang melindungi manusia itu sendiri.
Dalam versi revisi RKUHAP yang saat ini sedang digodok di DPR, terdapat kekhawatiran serius bahwa perhatian terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa justru mengecil, sementara aturan mengenai penyitaan dan perlindungan terhadap benda barang bukti ditulis dengan cermat, rapi, dan seolah sakral.
Pertanyaannya Apakah kita sedang menyusun Kitab Acara Pidana, atau sedang merancang Tata Tertib Museum Nasional?
Barang Bukti Bintang Utama dalam Drama Hukum
Barang bukti memang penting dalam sistem hukum. Tanpa barang bukti, pembuktian akan goyah. Tapi ketika perhatian pada benda-benda ini melebihi perhatian terhadap orang yang dituduh, maka kita patut bertanya di mana letak hati nurani peradilan kita?
Misalnya, pengaturan mengenai penyitaan barang dalam RKUHAP diatur secara rinci siapa yang berwenang, bagaimana prosedurnya, bagaimana perkaranya jika barang tersebut rusak, hingga bagaimana barang itu dikembalikan. Semua tampak indah, sistematis, dan rapi.
Tapi coba tengok pengaturan soal perlindungan terhadap tersangka apakah dijamin mendapat akses pengacara sejak awal penyidikan? Apakah ada larangan eksplisit terhadap penyiksaan? Apakah penyidik diwajibkan menggunakan rekaman video selama pemeriksaan?
Seringkali, pasal-pasal itu terdengar seperti pengulangan hal normatif, bukan jaminan yang bisa digenggam. Yang tragis, dalam praktik, penyiksaan fisik dan psikologis terhadap tersangka masih marak, dan RKUHAP yang baru belum tentu hadir sebagai penangkal malah jangan-jangan sebagai pembenaran baru.
Karya Agung yang Menjadi Fatamorgana
Kita tidak sedang bicara ilusi. Sejarah mencatat bagaimana KUHAP tahun 1981, yang saat itu disambut sebagai “karya agung bangsa Indonesia” untuk menggantikan HIR peninggalan kolonial, ternyata gagal menyejahterakan keadilan. Ia menjadi seperti lukisan surga di dinding penjara menawan secara teks, tapi hampa dalam praktik.
KUHAP tidak berhasil menekan penyiksaan oleh aparat, tidak berhasil menjamin keterbukaan proses hukum, dan bahkan sering dijadikan tameng untuk membatasi hak-hak korban dan tersangka. Kini, saat revisi RKUHAP dilakukan, publik berharap reformasi sesungguhnya. Tapi apakah yang kita dapat justru sebaliknya?
Kalau pasal-pasal dalam RKUHAP baru hanya mengulang retorika lama dengan kemasan baru, atau lebih parah lagi, menyuburkan penguatan wewenang aparat tanpa kontrol ketat, maka kita sedang menanam bom waktu dalam sistem peradilan pidana kita.
Tragedi Bernama Ketidakadilan
Ketika nyawa manusia menjadi angka statistik, dan keadilan hukum berubah jadi dokumen prosedural belaka, maka kita sedang menciptakan tragedi. Bukan tragedi yang mendadak, tapi yang sistematis terjadi sedikit demi sedikit, pelan-pelan, sampai akhirnya dianggap biasa.
Dalam sistem seperti itu, jangan kaget jika suatu hari kita dengar berita. “Seorang tersangka meninggal di ruang tahanan. Sementara barang bukti berupa sepeda motor curian berhasil diamankan dan disimpan baik di kantor polisi.”
Yang satu nyawa melayang, yang satu ban-nya dipoles sampai kinclong. Yang satu anak manusia, yang satu barang curian. Tapi yang satu dianggap “rusak tidak apa-apa”, sementara yang satu harus dijaga mati-matian.
Jika itu terjadi, maka revisi RKUHAP tidak sedang mengabdi pada keadilan, tetapi justru menjadi naskah yang melegitimasi dehumanisasi hukum.
Harus Ada Gerakan Grassroots Movement
Kita tidak boleh pasrah. Revisi RKUHAP adalah momen penting untuk memperbaiki sistem hukum kita, bukan untuk memperkuat impunitas. Hak atas kebebasan, hak untuk diperlakukan manusiawi, hak untuk didengar, dan hak untuk tidak disiksa semuanya bukanlah aksesori, tetapi fondasi negara hukum.
Kritik harus datang dari kampus, dari LSM, dari masyarakat, bahkan dari aparat hukum yang masih punya nurani. Jangan sampai naskah undang-undang yang seharusnya membawa keadilan, malah menjadi manual penyiksaan yang dilegalisasi.
Renungan!! Jangan Sampai Sejarah Mengutuk Kita
Jika dalam proses penyusunan RKUHAP ini kita diam, membiarkan pasal demi pasal yang absurd dan bias kekuasaan lolos tanpa koreksi, maka jangan salahkan sejarah jika suatu hari nanti, generasi mendatang membaca ulang undang-undang ini sambil bergumam “Ternyata bangsa ini memang lebih mencintai kulkas dan televisi daripada manusia.”
Dan ketika itu terjadi, tragedi hukum kita lengkap sudah karena di negeri ini, hukum tak lagi berfungsi sebagai pelindung rakyat, tapi pelindung benda mati dari manusia hidup.
telah dipublish pada media Inkom dan dapat diakses melalui : https://inkom.id/rkuhap-ketika-mesin-cuci-lebih-berharga-dari-nyawa-manusia/
Tinggalkan Balasan