
Sumber gambar: https://pin.it/4w3Re7CKd
Oleh : jesselyn
“Kekerasan seksual, sebuah aksi bejat yang tidak bisa semata-mata dimaafkan. Kekerasan seksual telah merenggut fisik, mental, dan harga diri korbannya.”
Belakangan ini media sosial sedang dimarakkan dengan kasus kekerasan seksual yang mulai dilakukan oleh aparat negara, profesi jas putih, bahkan tenaga pendidik. Salah satu kasus yang viral dan sangat disayangkan adalah aksi bejat seorang dokter anastesi yang memperkosa keluarga pasien dengan alibi crossmatch darah untuk pasiennya. Aksi ini tentunya telah menodai jas putih, seorang dokter yang seharusnya membantu pengobatan pasen justru dialah yang memperburuk pasien. Meskipun sang dokter sekarang sedang melalui proses hukum tetap saja perlu ada pertanggungjawaban atas kerusakan fisik dan trauma yang dialami korban.
Berbicara soal aksi pelecehan oleh dokter juga kerap dilakukan oleh aparatur negara seperti kasus oknum polisi yang alih-alih melindungi dan mengayomi masyarakat nyatanya menjadi predator seksual. Begitu juga dalam lingkup pendidikan masih ditemukan kasus dosen yang mencabuli mahasiswanya. Yang pada intinya kekerasan seksual bisa terjadi kapanpun dan dimanapun selagi adanya niat dan kesempatan pelaku. Mirisnya menurut data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA) jumlah kasus kekerasan seksual di Indonesia pada tahun 2024 tembus 14.373 yang korbannya para perempuan. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Dilain sisi, berita yang viral di media sosial terkait kekerasan skesual menuai pro dan kontra. Banyak netizen yang mendukung pemulihan korban, namun ada juga yang justru malah menjadikan pengalaman korban sebagai candaan. Misalnya “secantik apa cewenya?”, “padahal kalau diminta baik-baik pasti mau kok” ironisnya komentar seperti ini tidak hanya diketik oleh laki-laki tetapi juga perempuan yang mana artinya dia merendahkan sesamanya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang belum mampu berakal sehat dan memanusiakan manusia.
Dalam pandangan kesetaraan gender, kasus kekerasan sangat berhubungan erat dengan budaya patriarki. Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia masih kental dengan budaya patriarki yang mana selalu laki-laki yang berkuasa atas perempuan dalam hal apapun sehingga melahirkan suatu kesalahan berfikir bahwa normalnya perempuan tidak boleh melebihi kemampuan laki-laki. Warisan seperti ini menjadikan landasan bagi laki-laki untuk mendominasi perempuan khususnya dalam memuaskan kebutuhan seks. Hal ini dapat ditunjukkan dengan maraknya pemaksaan untuk berhubungan seksual dari yang ringan hingga yang paling berat seperti pekosaan.
Disini dapat kita lihat bahwa kesetaraan gender dan keadilan gender masih belum memadai. Padahal sudah lebih dari satu abad kita mengenang perjuangan R.A. Kartini membela hak-hak perempuan yang tertindas. Sudah seharusnya kita sebagai perempuan merasakan kebebasan untuk berekspresi serta mendapatkan pengalaman setara laki-laki bukan malah didominasi khususnya dalam hal seksual. Bahkan fakta mengerikannya perempuanlah yang disalahkan atas perbuatan bejat laki-laki dengan alasan pakaian yang terbuka, wajah yang menggoda, dan sebagainya yang ujung-ujungnya menyalahkan perempuan.
Ketidakadilan gender ini tidak hanya berlaku pada laki-laki ironisnya juga terjadi pada perempuan yang justru mengejek perempuan lainnya yang menjadi korban perkosaan. Perempuan harusnya mendukung sesama perempuan bukan malah memandang rendah sesamanya. Pentingnya women supporting women sebagai wadah untuk saling mendukung yang niscaya dapat menguatkan satu sama lain. Oleh sebab itu diperlukan kesadaran dari diri perempuan sendiri, karena biasanya hal tersebut terjadi karena kurangnya rasa empati dan didikan untuk memanusiakan manusia.
Saat ini meskipun sudah ada regulasi dari pemerintah yang menjerakan para pelaku kekerasan seksual, nyatanya hukuman badan dan denda saja tidak cukup. Sebab tetaplah korban yang menanggung rasa sakit fisik dan mental, bahkan sebagian korban ada yang memilih untuk mengakhiri hidup akibat tekanan dari lingkungannya. Oleh sebab itu kasus kekerasan seksual harus menjadi perhatian pemerintah dalam menanggulanginya khususnya apabila dilakukan oleh polisi, TNI, dokter, dosen, bahkan siapapun yang memiliki hubungan dengan pemangku kekuasaan tetap diberikan hukuman yang sama sesuai ketentuan pidana. Pemerintah juga melalui Komnas Perempuan harus turut menyediakan fasilitas terapi mental korban perkosaan tanpa dipungut biaya serta selalu mengawasi dan mengevaluasi perkembangan korban untuk menjadi lebih baik.
Referensi:
Tinggalkan Balasan