Ditulis Oleh : RIKA NABILA
Apa mungkin menjadi perempuan kuat, berani, dan berpengaruh tanpa harus ninggalin sisi lembut dan anggun? Benarkah peran pemimpin berarti harus kelihatan keras, tegas, dan jauh dari kesan feminin?
Berdasarkan kutipan di buku The Alpha Girl’s Guide karya Henry Manampiring, “Alpha Female” adalah perempuan-perempuan yang berada di puncak karena prestasi dan attitude-nya. Mereka dihormati dan disegani, baik oleh perempuan maupun laki-laki. Mereka percaya diri dan mengoptimalkan potensinya. Menjadi seorang Alpha Female dewasa bisa dimulai sejak dini dengan menjadi Alpha Girl.
Status Alpha bukan muncul dari klaim pribadi, melainkan dari penghargaan sosial atas sikap dan kemampuannya.
“Alpha Female sudah pasti Miss Independent. Miss Independent belum tentu Alpha Female… dia memiliki power dan pengaruh atas orang-orang lain.”
Henry Manampiring dalam bukunya secara tegas menolak stereotip bahwa menjadi Alpha berarti menjadi dingin, arogan, atau “ice queen” seperti karakter Elsa dalam film Frozen. Justru, Alpha Girl tetap bisa bersikap ramah dan terbuka. Dia tetap memegang prinsip dan tahu batas:
“Alpha Girl tidak serta-merta menjadi dingin bagaikan ice queen seperti Elsa di film Frozen. Sebaliknya, dia tetap ramah tanpa menjadi kegenitan…”
Lebih dari itu, Alpha Girl bekerja keras untuk mencapai kualitas dirinya, bukan hanya mengandalkan faktor genetis. Mereka bukan perempuan yang malas atau bergantung pada orang lain.
“Tidak ada Alpha Female yang saya kenal malas-malasan atau kerja tidak niat… saya percaya, untuk mendapatkan status Alpha Female bukanlah semata faktor ‘bawaan lahir’ saja. Attitude yang baik dan kerja keras juga sangat menentukan.”
Dari berbagai artikel dan refleksi sosial seperti tulisan Mira Sahid dan Dewiku, stigma terhadap perempuan mandiri masih kuat. Mereka sering dianggap arogan, tidak butuh laki-laki, atau terlalu kuat untuk dicintai. Padahal menjadi alpha tidak menghilangkan sisi feminin, masyarakat saja yang belum siap menerima keduanya dalam satu sosok perempuan.
Alpha Girl bukan berarti meninggalkan sisi feminin atau kelembutan. Justru, menjadi Alpha adalah tentang mengendalikan hidup sendiri, memimpin tanpa menekan, mandiri tanpa menutup diri, dan kuat tanpa kehilangan empati. Inilah refleksi gender yang diangkat Henry Manampiring bahwa kekuatan dan kelembutan bisa berjalan seiring dalam diri perempuan.
Menurut saya, perempuan mandiri tetap bisa feminin. Mandiri bukan berarti kehilangan kelembutan, karena feminin adalah tentang empati dan kehangatan. Yang keliru bukan sikapnya, tapi pandangan orang terhadapnya. Menjadi alpha dan feminin bisa berjalan beriringan. Justru kekuatan yang penuh empati adalah wujud perempuan paling utuh. Kita tidak harus memilih antara dihormati atau disayangi, karena bisa menjadi keduanya.
Perempuan mandiri atau dominan masih sering disalahpahami. Di sekolah atau kampus, yang aktif dan berani bicara kerap dianggap “terlalu keras”. Di media sosial, pencapaian perempuan sering dikomentari sinis seolah mengancam laki-laki. Di keluarga, sikap mandiri kadang dikhawatirkan bikin “susah jodoh”. Padahal masalahnya bukan pada sikap perempuan, tapi pada sempitnya standar tentang makna feminin.
Najwa Shihab misalnya, ia dikenal kritis, tegas, tapi tetap anggun saat menyampaikan pendapat. Maudy Ayunda cerdas dan berpendidikan, namun tetap lembut dan tenang. Raisa tampil penuh karisma tanpa kehilangan sisi manisnya. Mereka membuktikan bahwa perempuan bisa kuat dan anggun sekaligus, tanpa harus memilih salah satu.
Menjadi Alpha bukan berarti meninggalkan sisi feminin. Di tengah dunia yang terus berubah, perempuan justru perlu percaya diri tanpa takut dicap “terlalu kuat”, sambil tetap menjaga kelembutan dalam dirinya. Refleksi gender dalam The Alpha Girl’s Guide menunjukkan bahwa kekuatan dan keanggunan dapat berjalan berdampingan.
Tinggalkan Balasan