Ditulis Oleh: Sutari Tri Juliana
“Malu-maluin aja, perempuan kok berani lapor. ” itulah kata-kata yang kerap dilontarkan kepada perempuan yang berani menyuarakan ketidaksetaraan. Miris, tapi begitulah kenyataan yang ada.
Melihat kondisi masyarakat kita saat ini, tidak heran ucapan semacam itu masih sering terdengar, bahkan dari orang-orang terdekat seperti keluarga atau pasangan. Begitu beratkah menjadi seorang perempuan? Lantas, bagaimana peran kesetaraan gender yang sesungguhnya, jika hanya dengan menyuarakan ketidaksetaraan saja sudah dianggap sebagai sesuatu yang memalukan? Seperti pada kasus Baiq Nuril, seorang guru honorer di Lombok yang justru dikriminalisasi karena berani melaporkan pelecehan yang dialaminya. Ia merekam pembicaraan tidak senonoh dari kepala sekolah sebagai bukti, tetapi malah dijerat UU ITE karena rekaman tersebut tersebar, meskipun rekaman itu ia buat untuk membela diri. Bukannya mendapatkan perlindungan sebagai korban, Nuril justru harus menghadapi proses hukum yang panjang, yang membuatnya tertekan secara mental, sosial, dan ekonomi. Kasus ini mencerminkan perempuan yang bersuara dianggap melanggar norma.
Sebelum itu, apa sebenarnya makna kesetaraan gender? Kesetaraan gender adalah pandangan bahwa semua orang harus memiliki kesempatan, pengetahuan, serta menerima perlakuan yang setara tanpa didiskriminasi, karena kesetaraan sejatinya bukan hanya tentang hak yang diakui, tetapi juga tentang tindakan nyata yang menjamin hak itu dihormati dalam kehidupan sehari-hari.
Kasus ini menjadi cerminan nyata dari kegagalan dalam mewujudkan kesetaraan gender. Fakta bahwa pelecehan terhadap perempuan masih terjadi menunjukkan bahwa minimnya empati masyarakat terhadap isu tersebut. Hal ini diperparah oleh berbagai faktor yang menyebabkan pelecehan seksual semakin marak, seperti ketimpangan kuasa dalam relasi sosial serta kuatnya budaya patriarki yang menormalisasi dominasi laki-laki terhadap perempuan. Dalam masyarakat yang masih sarat dengan seksisme, tindakan pelecehan sering dianggap hal biasa, bahkan dijadikan bahan candaan. Lemahnya penegakan hukum dan sistem yang kurang berpihak pada korban membuat pelaku merasa aman, sementara korban memilih diam karena dihantui rasa takut, malu, dan khawatir akan disalahkan. Kondisi ini diperburuk dengan adanya stigma sosial terhadap korban, yang pada akhirnya menciptakan budaya bungkam serta menjadikan pelecehan seksual sebagai pola yang terus berulang dalam roda kehidupan.
Dampak dari kasus pelecehan seksual menyebabkan trauma kolektif, terutama di kalangan perempuan. Rasa takut untuk keluar rumah dan berinteraksi dengan banyak orang menjadi salah satu konsekuensi yang mereka alami. Kondisi ini menjadi hambatan dalam pembangunan manusia secara menyeluruh, karena trauma psikologis yang dialami perempuan dapat menghambat partisipasi aktif mereka dalam kehidupan sosial dan masyarakat. Korban pelecehan sering kali kehilangan kesempatan untuk terjun ke dunia kerja karena harus menghindari tempat atau situasi tertentu. Akibatnya, hal ini dapat mengganggu perkembangan karier mereka.
Sudah saatnya kita memberhentikan budaya yang membungkam suara perempuan dan mulai menciptakan ruang yang aman bagi semua orang tanpa terkecuali. Kesetaraan gender tidak akan terwujud jika masih ada ketakutan untuk bersuara. Namun, perubahan tak akan datang jika hanya disuarakan oleh perempuan, laki-laki juga harus mengambil peran. Sebab saat laki-laki berani menolak candaan seksis, membela korban, atau bahkan sekadar menjadi pendengar yang penuh empati, di situlah harapan untuk kesetaraan menjadi nyata. Kesetaraan bukan hanya sekadar kata indah yang digaungkan di seminar atau kampanye, melainkan hak yang seharusnya nyata dalam setiap langkah hidup. Kita semua punya peran menjadi pendengar yang tidak menghakimi, menjadi pelindung, bukan penonton. Karena selama masih ada satu saja perempuan yang merasa takut untuk berbicara, berarti kita semua sedang gagal menjadi manusia yang adil.
Tinggalkan Balasan