Tirani Ospek Warisan Jepang: Kebersamaan, Ketegasan atau Budaya Otoritarian?

Penulis : Bima

Ospek Zaman Jepang.

Sumber : Kompasiana.

Regulasi potongan rambut yang diatur sedemikian rupa dalam ospek sesungguhnya adalah simbol kekuasaan semu yang menihilkan kebebasan berekspresi. Ketika panjang rambut diukur bak standar barang di pabrik, mahasiswa baru diposisikan sebagai objek, bukan subjek. Padahal, potongan rambut seharusnya menjadi pilihan persona bukan pelengkap sakral dari ritual kekuasaan kampus yang ketinggalan zaman.

Memaksa badge name dari kardus sebagai identitas menggambarkan bagaimana ospek mereduksi identitas manusia menjadi barang murah. Kardus yang terlipat asal-asalan merepresentasikan bagaimana otoritas kampus memperlakukan mahasiswa bak peti barang, bukan individu pemikir. Gaya otoritarian semacam ini justru menumbuhkan rasa rendah diri dan cemoohan, alih-alih menumbuhkan solidaritas atau semangat akademis.

Dasi dari kain yang dipoles sebagai ‘simbol kekompakan’ tidak lebih dari atribut teatrikal yang membebani mental mahasiswa baru. Dasi seharusnya menjadi simbol profesionalisme, bukan jerat konyol untuk menegaskan hierarki.

Sejarah ospek di era STOVIA menunjukkan asal-usul orientasi yang lebih edukatif dan kekeluargaan, bukan semata-mata perintah dan dera teriakan. Pelajar STOVIA kala itu dikenalkan dengan nilai-nilai kebersamaan, dedikasi, dan patriotisme atas dasar ilmunya bukan sekadar teriakan “Hore!” untuk melemahkan mental. zaman kolonial yang kental dengan budaya perbudakan justru menjadi cermin proses pembelajaran yang memupuk semangat, bukan saluran olok-olok.

Namun kini ospek telah berubah menjadi pentas teater otoritarian pasca pendudukan jepang dan sekolah sekolah nya didirikan di indonesia, di mana teriakan-teriakan memanggil nama, penggundulan dan penggunaan atribut mahasiswa menjadi ritual absurd warisan yang tumbuh subur sampai sekarang. Budaya teriak-teriak itu bukan hanya mengganggu konsentrasi, tetapi juga menciptakan trauma audio bagi yang sensitif. Praktik ini mencerminkan otoritas yang haus dominasi mengencangkan cengkeraman lewat kebisingan, bukan dialog.

Kondisi psikologi mahasiswa kerap diabaikan dalam euforia kekuasaan semu ini. Tekanan untuk tampil “seragam” memunculkan kecemasan dan stres kronis apalagi bagi yang memiliki gangguan kecemasan sosial. Kebijakan potong rambut, dasi, dan teriakan bukan hanya bikin tubuh lelah, tetapi juga merusak harga diri. Ospek semacam ini sejatinya mematikan kreativitas dan inisiatif berpikir kritis.

Lebih parah lagi, praktik-praktik sederhana namun tidak relevan ini menandai degradasi nilai-nilai akademik. Alih-alih diskusi ilmiah dan pengenalan kurikulum, mahasiswa baru dipaksa sibuk dengan atribut konyol. Ini bukan ospek yang mencerdaskan, tapi ospek yang menjinakkan. Tradisi yang menyimpang dari semangat ilmiah di STOVIA kini hanya menyisakan bayang-bayang otoritarianisme murahan.

Oleh karena itu, saya menantang Presiden BEM FH Unmul dan jajaran untuk mengadakan debat terbuka untuk menyoroti isu mengenai regulasi ospek ini, langsung di hadapan seluruh mahasiswa baru dan lama. Mari bawa isu ini ke ruang publik kampus, bantah otoritarianisme lewat argumen, bukan tumbal potongan rambut atau badge kardus. Hanya dengan dialog terbuka, kita bisa mengembalikan ospek ke jalur pendidikan yang mencerahkan.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *