80 Tahun sudah sejak indonesia pertama kali merdeka pada 17 Agustus 1945. Sebuah usia yang jika dibandingkan dengan kehidupan manusia, sudah memasuki masa tua: matang, penuh pengalaman, sekaligus rentan dengan penyakit. Begitu pula dengan negara. Usia delapan dekade bukan lagi masa-masa pencarian jati diri, melainkan seharusnya menjadi masa konsolidasi, kemapanan, dan kematangan dalam berbangsa serta bernegara. Pertanyaan yang sering muncul: apakah Indonesia di usia 80 ini lebih layak melakukan presentasi capaian atau justru harus evaluasi secara besar-besaran?
Perjalanan panjang bangsa ini tidak pernah lekang dari berbagai kegaduhan, baik itu politik, hukum, sosial, maupun ekonomi. Kita bisa mencatat:
1. Politik uang dan oligarki yang masih membayangi demokrasi, membuat rakyat kerap terjebak dalam pilihan semu. Banyak rakyat yang di bodohi dengan janji-janji manis para penjabat, adanya serang fajar yang sering terjadi mendekati pemilihan umum membuat suara rakyat mudah untuk di beli dan ada pula penjabat yang mudah di bodohi oleh rakyat dengan janji akan memberikan suara jika bisa di bayar.
2. Korupsi yang merajalela, bahkan di lembaga tinggi negara sekalipun, menunjukkan betapa reformasi belum benar-benar tuntas terlaksanakan.
3. Kesenjangan sosial-ekonomi yang makin melebar; sebagian masyarakat hidup berlimpah, sementara sebagian lainnya masih berjuang untuk makan, untuk pendidikan dan bahkan hanya sekedar untuk bertahan hidup.
4. Intoleransi yang terjadi, bahkan sering terjadi belakangan ini dan polarisasi yang terus berulang setiap ada momentum politik, seolah kita lupa bahwa Pancasila menuntut adanya persatuan.
5. Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam yang tak terkendali dengan alasan hilirisasi, kesejahteraan masyarakat lokal yang semakin mengancam generasi mendatang.
Kegaduhan ini bukan hanya sekadar insiden belaka, melainkan sebuah cermin masalah struktural yang belum terselesaikan meski kemerdekaan sudah hampir seabad.
Mengapa Indonesia Harus Evaluasi di Umur 80 Tahun?
Karena usia 80 adalah titik refleksi. Jika sebuah bangsa hanya sibuk presentasi pencapaian angka pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur, atau klaim keberhasilan diplomasi, maka itu sama saja seperti menutupi keborokan dengan bedak tebal. Sebab evaluasi diperlukan karena kemerdekaan bukan hanya bebas dari penjajahan asing, tetapi juga dari kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan. Seperti data BPS menunjukkan persentase penduduk miskin di Indonesia adalah 8,47%, atau sekitar 23,85 juta orang. Walaupun menurun di bandikan tahun 2024, tapi ini bukanlah angka yang kecil1.
Kegagalan masa lalu tidak boleh diwariskan ke generasi berikutnya. Tanpa evaluasi, anak cucu kita akan menjadi korban untuk mengulang siklus kegagalan yang sama. Momentum 80 tahun adalah kesempatan emas untuk menata ulang arah pembangunan nasional sebelum masuk ke usia 100 tahun kemerdekaan (satu abad Indonesia) pada 2045.
Sehingga evaluasi mendesak di perlukan karena:
1. Stabilitas nasional bergantung pada kepercayaan rakyat. Jika kegaduhan dibiarkan terus menerus, jarak rakyat dan pemerintah akan semakin melebar.
2. Persaingan global semakin ketat. Indonesia harus memastikan sumber daya manusianya siap menghadapi era digital dan krisis iklim dunia saat ini. Karena dunia sekarang sulit untuk di prediksi.
3. Momentum regenerasi kepemimpinan. Anak muda akan segera mengambil alih panggung politik; jika tidak ada evaluasi, mereka akan mewarisi masalah tanpa ada solusi.
Sehingga pejabat negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, mestinya berhenti sekadar menjadi “presenter” capaian semu. Mereka harus berani berperan menjadi manajer evaluasi, membuka ruang kritik, dan memperbaiki kelemahan sistem. Evaluasi tidak akan lahir dari sikap defensif, melainkan dari keberanian untuk mengakui kekurangan.
Namun, evaluasi bukan hanya tugas pejabat. Rakyat pun harus ikut andil. Demokrasi memberi ruang untuk itu: lewat suara, gerakan sosial, maupun partisipasi aktif di level komunitas. Jika pejabat adalah pengemudi, maka rakyat adalah bahan bakar. Tanpa adanya kesadaran rakyat, reformasi dan evaluasi hanya berhenti di pidato kenegaraan.
Maka, di momentum 80 tahun kemerdekaan, bangsa ini dihadapkan pada dua pilihan: sekadar presentasi capaian untuk tepuk tangan sesaat, atau evaluasi mendalam demi langkah yang lebih kokoh menuju satu abad Indonesia merdeka 2045. Sejarah akan mencatat pilihan itu. Dan generasi mendatang akan menjadi saksi, apakah kita berani jujur pada diri kita sendiri, atau hanya sibuk menipu diri dengan catatan prestasi semu.
#80tahunindonesiamerdeka
Tinggalkan Balasan