Oleh : I Kadek Bayu S.
Katamu wakil rakyat,
tapi kursimu lebih tinggi dari mata kami menatap.
Kau duduk nyaman di atas penderitaan,
lalu menyebut kami “tidak tahu bersyukur”.
Katamu perjuangkan suara rakyat,
tapi suaramu hanya nyaring saat kampanye.
Sesudahnya?
Kami dibisukan, ditertawakan, dilabeli pengganggu stabilitas.
Negara bilang: “Kita Bersatu!”
Tapi kami dipukul jika bersatu di jalanan.
Negara bilang: “Kita Berdaulat!”
Tapi tanah kami dijual lewat sidik jari di balik meja.
Negara bilang: “Rakyat Sejahtera!”
Tapi kami mengantri bansos sambil menahan lapar.
Kami?
Hanya prolog dalam naskah janjimu.
Latar belakang dari pidato kemenanganmu.
Alat, bukan tujuan.
Tumbal, bukan tokoh utama.
Katamu: “Jangan provokasi!”
Apakah kecewa kini dianggap makar?
Apakah kelaparan harus ditulis dalam format proposal?
Kami menunggu,
bukan lagi perubahan,
tapi akhir dari ilusi.
Sebab setiap tahun, kau bacakan tema-tema indah:
“Indonesia Maju”
“Menuju Emas”
“Merdeka!”
Tapi hanya emasmu yang bertambah,
dan merdeka bagimu berarti bebas melupakan kami.
Kau lupa daratan,
karena terlalu sibuk menambang langit.
Tinggalkan Balasan