Kemerdekaan Milik Penguasa: Kesejahteraan Masih Jadi Mimpi Rakyat

Delapan puluh tahun sudah sejak proklamasi 17 Agustus 1945 dikumandangkan. Bendera Merah Putih berkibar, rakyat bersorak dengan penuh suka cita. Namun, setelah delapan dekade merdeka, pertanyaan mendasar tetap menghantui: apakah bangsa ini benar-benar merdeka?

Secara harfiah, merdeka berarti bebas dari belenggu dan penderitaan, bebas dari penindasan, bebas dari segala bentuk penjajahan. Tetapi, jika rakyat masih dibelenggu kemiskinan, ketidakadilan, dan kebijakan yang menindas, pantaskah kita menyebut diri telah merdeka?

Pemerintah kerap mengklaim keberhasilan. Dalam penutupan kongres Partai Solidaritas Indonesia, 20 Juli 2025, Presiden Prabowo Subianto menyebut angka pengangguran dan kemiskinan absolut menurun. Namun, data memperlihatkan jurang perbedaan. Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan Rp 977.400 per bulan, sementara BPS hanya Rp 582.932. Akibatnya, kemiskinan versi Bank Dunia mencapai 60,3%, sedangkan versi BPS hanya 9,03%.Pertanyaannya sederhana: apakah penghasilan Rp 600.000 per bulan benar-benar cukup untuk hidup layak? Jika tidak, bukankah klaim penurunan kemiskinan itu sekadar ilusi statistik?

Konstitusi menjamin kesejahteraan rakyat, sebuah amanat yang lahir dari kontrak sosial tertinggi. Tan Malaka sejak awal mengingatkan: kemerdekaan bukan sekadar mengusir penjajah, melainkan menegakkan keadilan sosial. Namun, kebijakan negara justru lebih sering berpihak pada penguasa daripada rakyatnya.

Alih-alih melayani, negara semakin lihai memalak. Usaha kecil kena pajak, gaji pas-pasan kena pajak, bahkan aktivitas sederhana seperti olahraga atau hiburan pun dipajaki. Tapi jalan rusak tetap dibiarkan, biaya pendidikan makin mahal, fasilitas kesehatan jauh dari memadai. Negara lebih rajin memungut daripada menyejahterakan.

Tak berhenti di situ, tabungan rakyat kecil pun dicurigai. Ribuan rekening diblokir PPATK dengan dalih transaksi mencurigakan, sementara protes rakyat diabaikan hingga presiden turun tangan.

Di sisi lain, PHK makin marak, lapangan kerja yang dijanjikan jutaan masih sebatas wacana. Rakyat yang sekadar ingin hidup normal bahkan dihantui pungutan royalti absurd: dari musik di warung, hingga lagu kebangsaan di stadion. Apa negara ini benar-benar sebegitu haus uang?

Pertambangan dikeruk habis, tanah rakyat dikorbankan, tapi rakyat tetap hidup dalam kesenjangan. Dan ketika rakyat bersuara, bukannya didengar, justru ditantang. Penguasa yang seharusnya mengayomi malah takut kehilangan kekuasaan.

Delapan puluh tahun sudah Indonesia merdeka. Tetapi rakyat masih bertanya: kapan kemerdekaan itu benar-benar milik mereka? Ataukah kemerdekaan hanya milik penguasa, sementara kesejahteraan tetap jadi mimpi bagi rakyatnya?


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *