REPRESIFITAS APARAT KEAMANAN, MOSI TIDAK PERCAYA LAGI TERHADAP POLISI

Tanggal 28 Agustus 2025 kembali menorehkan luka yang begitu menyayat hati dalam perjalanan demokrasi bangsa ini. Aksi mahasiswa yang seharusnya menjadi ruang penyampaian aspirasi rakyat, justru berubah menjadi ladang represi aparat. Alih-alih dihormati sebagai bentuk kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi, mahasiswa kembali diperlakukan sebagai musuh negara. Aparat keamanan yang semestinya menjadi pelindung, justru menunjukkan wajah bengisnya.

Dalam aksi hari ini, publik kembali dipaksa menyaksikan betapa nyawa rakyat begitu murah di mata aparat. Salah seorang massa aksi menjadi korban setelah tertabrak kendaraan taktis. Kejadian ini bukanlah insiden pertama. Berulang kali aksi mahasiswa dan rakyat berujung pada kekerasan, dan selalu dengan pola yang sama: pembungkaman dengan kekuatan represif. Pertanyaan yang sangat layak untuk diajukan: apakah polisi masih layak dipercaya sebagai pengayom masyarakat, atau justru menjadi alat kekuasaan untuk meredam suara kritis rakyat?

Polisi: Dari Pelindung Menjadi Ancaman

Kekecewaan terhadap aparat keamanan kini bukan lagi sebatas opini segelintir kelompok, melainkan kekecewaan kolektif. Polisi yang seharusnya berdiri di sisi rakyat, berubah menjadi tembok penghalang yang siap menghantam siapa saja yang menuntut keadilan. Tragedi hari ini menambah daftar panjang alasan rakyat Indonesia menyatakan mosi tidak percaya terhadap kepolisian. Kepercayaan publik yang selama ini terkikis, kini makin hancur lebur setelah aparat kembali lagi berulah.

Kita sebagai masyarakat indonesia yang peduli dengan nasib ibu pertiwi tidak boleh diam, karena diam berarti tunduk. Diam berarti mengizinkan aparat terus menjadikan rakyat sebagai sasaran kekerasan. Rakyat Indonesia harus bersatu, memperkuat solidaritas, memperjuangkan ruang demokrasi yang kian dipersempit. Mahasiswa tidak boleh ditinggalkan sendirian di medan perlawanan. Jika hari ini korban jatuh dari barisan mahasiswa, maka esok bisa saja rakyat kecil di jalanan yang akan menjadi target selanjutnya. Rakyat harus berani menyuarakan ketidakpercayaan secara tegas: bahwa polisi tidak lagi bisa dibiarkan bertindak sewenang-wenang. Tragedi ini adalah alarm keras bagi kita semua. Jika represi terus dibiarkan, maka korban berikutnya hanya tinggal menunggu waktu. Demokrasi yang diperjuangkan dengan darah dan air mata akan hancur di tangan aparat yang seharusnya menjaga. Setiap tindakan brutal aparat adalah pengkhianatan terhadap rakyat, terhadap demokrasi, dan terhadap amanat konstitusi.

Kemarahan ini bukan tanpa alasan. Ini adalah kemarahan rakyat yang dikhianati, yang dipukul, yang ditabrak, yang dibungkam. Polisi telah kehilangan wajah humanisnya. Kini, mereka berdiri bukan sebagai pelindung rakyat, melainkan sebagai musuh dalam selimut demokrasi. Mereka tidak segan untuk melakukan tindakan yang bisa merenggut nyawa hanya untuk melindungi orang-orang yang ada di belakangnnya.

Dan pada titik ini, mosi tidak percaya bukan hanya slogan mahasiswa di jalanan, melainkan sikap rakyat yang muak akan kondisi negara yang semakin hari semakin tidak baik-baik saja.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *