Perempuan Melawan, budaya Patriarki 

Penulis : A.Jovan Syahputra 

Budaya Patriarki marak terjadi saat ini di indonesia, bahkan mungkin tidak akan hilang dari indonesia. Perlu diketahui Patriarki adalah dimana laki-laki mendominasi dalam aspek kehidupan, misalnya pekerjaan, politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Sehingga seringkali menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Padahal, pada dasarnya secara perspektif agama perempuan itu memiliki kodrat yang tinggi di bandingkan laki-laki. Lantas, kenapa perempuan selalu menjadi korban Patriarki dan apakah budaya ini bisa kita hilangkan di berbagai aspek kehidupan di indonesia? 

Melihat proses berjalannya kehidupan akhir-akhir ini, kita sering kali mendengar statement “bahwasanya perempuan tidak perlu bekerja keras karena itu tanggung jawab laki-laki, perempuan itu tugasnya mengurus rumah tangga, perempuan itu cukup melayani suaminya”. Etiskah kita sebagai manusia yang menjunjung tinggi kesetaraan gender, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia mendengar kalimat tersebut? tentu sangat tidak etis. Kenapa? karena perempuan juga memiliki hak yang sama seperti laki-laki, seperti yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 1 yang menegaskan kesetaraan di antara warga negara tanpa memandang gender dan sila kelima pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia, yang juga termasuk mendukung kesetaraan gender.  

Untuk menghilangkan budaya patriarki di indonesia tidaklah mudah, bahkan bisa di katakan tidak mungkin. Karena adanya berbagai faktor yang menyebabkan budaya patriarki ini sulit untuk di hilangkan dari aspek kehidupan masyarakat indonesia, diantaranya: 

  1. Pengaruh Agama dan Tradisi  

Banyak ajaran agama dan tradisi yang masih menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga dan masyarakat. Misalnya, dalam beberapa tafsir agama, laki-laki dianggap sebagai kepala keluarga yang memiliki otoritas lebih besar dibandingkan perempuan (Blackburn, 2004). 

  1. Struktur Sosial yang Patriarkal 

Sistem sosial di Indonesia masih mengutamakan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pengambilan keputusan di keluarga dan politik. Hal ini memperkuat norma bahwa laki-laki lebih dominan dibandingkan perempuan (Bennett, 2005). 

  1. Pendidikan yang Kurang Inklusif Gender 

Kurangnya pendidikan berbasis kesetaraan gender menyebabkan generasi muda tetap terjebak dalam pemikiran patriarki. Buku pelajaran dan kurikulum sekolah masih sering mereproduksi stereotip gender yang menempatkan perempuan dalam peran domestik (Robinson, 2009). 

  1. Media yang Memperkuat Stereotip Gender 

Media massa, seperti sinetron dan iklan, sering kali menampilkan perempuan dalam peran domestik dan laki-laki sebagai sosok dominan. Representasi ini memperkuat persepsi masyarakat bahwa perempuan harus tunduk pada laki-laki (Suryakusuma, 2011). 

  1. Hukum dan Kebijakan yang Kurang Mendukung Kesetaraan Gender  

Meskipun ada undang-undang yang melindungi hak perempuan, implementasinya masih lemah. Banyak kasus diskriminasi terhadap perempuan yang tidak ditindak secara serius, seperti kekerasan dalam rumah tangga yang sering dianggap sebagai masalah pribadi (Nurmila, 2016). 

  1. Ketimpangan Ekonomi antara Laki-laki dan Perempuan   

Laki-laki masih mendominasi sektor pekerjaan dengan upah lebih tinggi, sementara perempuan lebih banyak bekerja di sektor informal dengan upah rendah. Hal ini memperkuat ketergantungan perempuan terhadap laki-laki secara ekonomi (Ford & Parker, 2008). 

  1. Tekanan Sosial dan Budaya 

Perempuan yang mencoba keluar dari norma patriarki sering kali mendapat tekanan sosial, seperti stigma negatif terhadap perempuan yang tidak menikah atau tidak memiliki anak. Hal ini membuat perempuan sulit untuk menuntut hak-hak mereka secara bebas (Hasyim, 2019). 

Jadi itulah beberapa faktor yang menyebabkan budaya patriarki ini sulit untuk dihilangkan dan bahkan mungkin tidak akan pernah hilang dari aspek kehidupan masyarakat indonesia. Padahal pada dasarnya yang perlu kita ubah yaitu Pola Pikir kita (Masyarakat Indonesia), bahwasanya perempuan itu berhak dan memiliki tanggung jawab yang sama dengan laki-laki. Urusan rumah tangga itu tanggung jawab suami istri, bukan hanya istri. Perempuan berhak mendapatkan pekerjaan yang layak, pendidikan yang tinggi, berhak mendapatkan pelayanan di sektor kesehatan yang mumpuni. Hak Asasi Manusia punya aturan tentang kesetaran gender, jadi marilah kita bersama-sama merefresh pola pikir kita. Dan melupakan pola pikir tentang perempuan itu tugasnya hanya didapur,kasur dan sumur. Jelas itu pola pikir yang sangat tidak dibenarkan. 

DAFTAR PUSTAKA 

Blackburn, S. (2004). Women and the State in Modern Indonesia. Cambridge University Press. 

Ford, M., & Parker, L. (2008). Women and Work in Indonesia. Routledge. 

Hasyim, N. (2019). Gender and Islam in Indonesian Muslim Women’s Discourses. Palgrave Macmillan.   

Nurmila, N. (2016). Muslim Women in Contemporary Indonesia: Online and Offline Debates. Springer.   

Bennett, L. (2005). Women, Islam and Modernity: Single Women, Sexuality and Reproductive Health in Contemporary Indonesia. Routledge.   

Robinson, K. (2009). Gender, Islam and Democracy in Indonesia. Routledge.   

Suryakusuma, J. I. (2011). State Ibuism: The Social Construction of Womanhood in New Order Indonesia. Komunitas Bambu.   


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *