Ketika Penguasa Menginjak Konstitusi

Penulis : Afizah Nur Afkarina

Beberapa waktu lalu, seorang Menteri Kebudayaan Republik Indonesia yakni Fadli Zon menyatakan bahwa peristiwa pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa dalam kerusuhan 1998 hanyalah sebuah rumor belaka. Pernyataan itu bukan saja menyakitkan, tapi juga merupakan bentuk pengingkaran terhadap fakta sejarah yang telah diteliti, didokumentasikan, dan disuarakan oleh banyak elemen masyarakat. Laporan resmi, data korban, serta kesaksian para penyintas adalah bukti yang tak bisa dibantah begitu saja dengan ucapan enteng dari seorang pejabat negara. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pemerintah sendiri pada 1998 telah mencatat 1.217 orang tewas, 101 perempuan diperkosa, dan kerugian materi yang mencapai triliunan rupiah. Komnas HAM dalam laporannya juga mengkonfirmasi terjadinya pelanggaran HAM berat selama kerusuhan Mei 1998.[1] Relawan Kemanusiaan dan berbagai LSM mencatat kasus pemerkosaan dengan detail yang mengenaskan. Data tersebut bukan sekedar angka statistik, melainkan representasi dari penderitaan nyata manusia-manusia yang menjadi korban.

Pemerintah saat ini ingin menghapus atau meredam narasi tentang kerusuhan 1998, dengan dalih menyederhanakan sejarah atau menghindari konflik. Ini bukan sekadar revisi, ini adalah ancaman serius terhadap memori kolektif kita sebagai bangsa. Menghapus sejarah adalah bentuk kekerasan baru yang seolah membungkam suara korban dan mencegah generasi mendatang untuk belajar dari masa lalu. Upaya pengingkaran  terhadap kejahatan kemanusiaan ini bukanlah hal yang baru. Holocaust juga menyangkal genosida yang terjadi di Armenia, terjadi upaya untuk merevisi sejarah kolonialisme yang memotret ketika kekuasaan mencoba memanipulasi memori kolektif untuk kepentingan publik. Naasnya, Indonesia yang pernah menjadi korban kolonialisme dan berjuang keras untuk mencapai kemerdekaan negara yang terus bekermbang, kini secara ironis tengah menerapkan pola yang sama terhadap sejarah negaranya sendiri.

Pernyataan Fadli Zon bukanlah hanya kekeliruan retorika tapi ini adalah bentuk pengingkaran terhadap tanggung jawab konstitusional seorang pejabat publik. Pasal 28I UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa perlindungan dan penegakan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara. Itu berarti, setiap pejabat negara termasuk seorang menteri wajib berpihak pada korban, bukan malah meragukan penderitaan mereka yang telah dicatat, diselidiki, dan dipublikasikan oleh Komnas HAM. Pasal 28J UUD 1945 juga menegaskan bahwa setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ketika seorang menteri menyangkal penderitaan korban kekerasan, ia tidak hanya melanggar norma kemanusiaan, tetapi juga mengkhianati semangat kosntitusi yang menjunjung tinggi martabat manusia.

Ketika seorang menteri justru menyangkal kebenaran yang sudah terbukti secara sistematis, ia bukan hanya melukai korban dan keluarga mereka, tetapi juga mencederai konstitusi yang menjadi dasar keberadaannya sebagai pejabat negara. Dengan sederhana dapat diartikan bahwa ia telah melecehkan amanat konstitusi. Maka jika ia melecehkan konstitusi, maka sudah seharusnya DPR menggunakan hak konstitusionalnya, yakni hak angket atau bahkan mendorong pencopotan jabatan. Seorang pejabat negara yang tidak tunduk pada konstitusi, sama saja dengan mengkhianati sumpah jabatannya sendiri. Mekanisme check and balances dalam sistem demokrasi seharusnya berfungsi dalam situasi seperti ini. DPR sebagai lembaga legislatif yang memiliki fungsi pengawasan tidak boleh diam ketika seorang menteri melanggar prinsip prinsip konstitusional. Hak angket, interpelasi, atau bahkan mosi tidak percaya adalah instrumen-instrumen yang tersedia untuk meminta pertanggungjawaban pejabat eksekutif, in casu Fadli Zon selaku Menteri Kebudayaan.

Hal ini juga tidak lepas dari rekam jejak Presiden Prabowo yang belum bersih dari tragedi kerusuhan 1998. Ia pernah disebut-sebut sebagai pihak yang diduga turut bertanggung jawab secara struktural atas kekerasan yang terjadi. Bahkan sempat didugamelarikan diri keluar negeri (Yordania), lolos dari proses hukum, dan kini kembali sebagai pemimpin tertinggi negeri ini. Kondisi ini menunjukkan potret gagalnya sistem hukum negara kita. Tidak ada pertanggungjawaban. Tidak ada rekonsiliasi yang bermakna. Luka sejarah tidak pernah diobati, justru dibiarkan membusuk di bawah karpet kekuasaan. Impunitas yang berkepanjangan inilah yang kemudian menciptakan budaya kebiasaan penyangkalan. Ketika pelaku tidak pernah diminta pertanggungjawaban, ketika keadilan tidak pernah ditegakkan, maka langkah selanjutnya adalh mengingkari bahwa kejahatan itu pernah terjadi. Ini adalah pola klasis authoritarian amnesia yang dengan sengaja melupakan untuk melindungi kepentingan kekuasaan.

Korban dan keluarga mereka yang selama puluhan tahun berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan keadilan, kini harus menghadapi pengingkaran dari negara yang seharusnya melindungi mereka. Para penyintas yang dengan berani bersuara, yang pada akhirnya menanggung trauma berkepanjangan, bahkan malah dituduh sebagai pembuat cerita palsu oleh pejabat yang seharusnya menjadi pelindung mereka. Kita mengenal sejarah adalah guru terbaik bagi suatu peradaban negara. Bangsa yang tidak belajar dari masa lalunya akan terkutuk untuk mengulangi kesalahan yang sama. Indonesia tidak boleh menjadi bangsa yang memilih amnesia kolektif demi kenyamanan politik sesaat. Kita, masyarakat yang masih peduli akan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, tidak sedang mencari musuh. Kita hanya sedang melawan lupa. Karena kita tahu, sejarah yang dihapus adalah jalan pintas menuju pengulangan tragedi.


[1] Komnas Perempuan, Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, https://komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/1211.1613985591.pdf


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *