Di sela-sela kumuh kota, mimpi anak-anak mati secara perlahan, bukan karena mereka bodoh, bukan juga karena mereka malas, tapi karena mereka dilahirkan oleh orang tua yang tidak siap secara mental dan finansial untuk membesarkan manusia lain. Mirisnya, para orang tua ini selalu membalut semua keputusan dengan dalih iman dan harapan, lalu dijustifikasi dengan narasi sesat: “Banyak anak banyak rezeki.” Seolah-olah anak yang mereka lahirkan dapat membawa rezeki yang berlimpah pada kehidupan mereka. Tulisan ini ditujukan sebagai kritik untuk para orang tua yang melahirkan anak dalam keadaan kemiskinan ekstrem dan mengutuk keras narasi sesat yang mengubah peran anak sebagai sumber rezeki, pada kenyataannya mereka justru menjadi korban dari siklus kemiskinan yang tak berujung ini.
Menurut UNICEF Indonesia (2023), sekitar 4,1 juta anak Indonesia di bawah umur 18 tahun tidak bersekolah[1], dan 70% alasan mereka putus sekolah dikarenakan faktor tekanan ekonomi yang kian memburuk. [2] Ini bukan sekedar angka, ini adalah nyawa yang mimpinya dibunuh perlahan oleh keadaan yang tak mereka pernah harapkan. Anak-anak ini tidak pernah meminta untuk dilahirkan sekaligus dibebani oleh tanggung jawab yang seharusnya diemban oleh para orang dewasa. Namun kenyataannya? Banyak dari mereka yang dipaksa untuk turun ke jalan, menjual tisu, menarik gerobak, menawarkan kerupuk, bahkan mengemis di simpang lampu merah, sementara anak-anak lain duduk di bangku sekolah dan melukis mimpi. Ini bukan rezeki ataupun takdir, ini ketidakcakapan yang dibudayakan.
Orang tua yang melahirkan anak tanpa persiapan tidak layak disebut pahlawan, ini bukan tindakan heroik melainkan sebuah tindakan yang hanya menyebabkan penderitaan dan luka bagi generasi mendatang. Tidak ada yang layak dipuji dari melahirkan anak dan membiarkan mereka bertarung di jalanan sejak usia dini, mental mereka yang seharusnya menerima belaian kasih sayang oleh orang tua, guru dan lingkungan yang baik, dipaksa menerima keadaan yang kejam dan tak pernah mereka inginkan.
Para orang tua ini selalu berkata bahwa kehidupan ini adalah “takdir” dan “rezeki akan datang sendiri.” itu bukan iman itu adalah ilusi. Bahkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Isra ayat 31, Allah memperingatkan:
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka itu adalah suatu dosa yang besar.”
Namun, bagaimana dengan mereka yang tidak dibunuh secara fisik melainkan dihancurkan perlahan secara mental? Tidak mendapat pendidikan yang layak, tidak diberi gizi yang baik, dijadikan buruh di rumah sendiri, dipaksa mengambil peran orang dewasa sejak dini, bukankah hal ini lebih kejam karena dilakukan secara perlahan dan membunuh mental anak-anak yang bermimpi.
Berpasrah kepada takdir dan melahirkan anak sebanyak-banyaknya dengan harapan dapat membuat keadaan membaik itu adalah bentuk hina dari seorang manusia yang esensinya adalah makhluk berakal dan memiliki hati nurani. Kejam, jika mereka sadar dan tetap melakukannya tanpa memikirkan bagaimana keadaan yang akan diterima oleh anak yang mereka lahirkan.
Teruntuk para orang tua miskin yang memproduksi anak tanpa persiapan dan hanya berharap pada keberuntungan serta berpikir bahwa anak yang dilahirkan dapat membawa rezeki pada kehidupan yang kalian alami: kalian bukan pemberani, kalian kejam, kalian hina, kalian egois. Anak bukan alat, bukan juga tiang penopang masa tua, mereka adalah manusia yang membutuhkan cinta, kasih sayang, perhatian, fasilitas hidup yang layak. Kenyataannya tentu pahit namun perlu digarisbawahi tidak semua orang pantas menjadi orang tua.
Sebagai generasi yang melihat kejamnya praktik slogan ini, saya berharap Generasi Z atau yang disebut Gen-Z tak lagi memahami slogan ini hanya sebatas “Banyak anak banyak rezeki.” Melainkan “Banyak anak banyak rezeki yang harus dicari.” Mari kita menjadi generasi yang memutus pola pikir pendek ini dan mempertanggungjawabkan semua tindakan yang diperbuat.
Tulisan ini adalah suara untuk jutaan anak yang kehilangan hak untuk bermimpi. Untuk anak-anak yang menarik gerobak di pagi hari, bukan duduk dibangku sekolah. Untuk anak-anak yang memegang lap di persimpangan lampu merah, bukan pulpen di kelas. Untuk anak-anak yang berpakaian kostum kartun di pinggiran jalan keluar Mal, bukan berpakaian seragam pelajar di sekolah. Untuk gadis-gadis yang dinikahkan pada usia dini, dan anak laki-laki yang dipaksa menjadi tulang punggung keluarga di usia yang seharusnya mengenyam pendidikan dengan layak.
[1] Unicef Indonesia “Pendidikan dan Remaja” (https://www.unicef.org/indonesia/id/pendidikan-dan-remaja, diakses pada Rabu, 25 Juni 2025, pukul 09.53 WITA)
[2] Maritza Eka Rahmadhani “4,7 Juta Mimpi Tertunda: Mengapa Pendidikan di Indonesia Masih Tertinggal?” (https://binus.ac.id/character-building/2025/04/47-juta-mimpi-tertunda-mengapa-pendidikan-di-indonesia-masih-tertinggal/, diakses pada Rabu, 25 Juni 2025, pukul 10.02 WITA)
Tinggalkan Balasan