Semoga Beneran “Merdeka”

Sebelumnya saya sengaja menulis tulisan ini di tanggal 19 Agustus 2025. Karena di tanggal 17 Agustus semua orang sibuk berteriak “merdeka” sambil bernari-nari di panggung dan layar televisi dan di tanggal 18 semua orang sudah lelah merayakan hari kemerdekaan. Bukannya saya beralasan untuk menunda menulis tulisan ini, saya hanya tidak ingin hanyut dalam gegap gempita seremonial yang sering cuma jadi topeng kebahagiaan sesaat menutupi abu-abunya keadaan Indonesia saat ini. Bukan hanya itu saja, alasan saya menulis pada tanggal 19 Agustus ini untuk mengingat jasa para founding parents dan juga merupakan momen krusial dalam sejarah awal pembentukan Republik Indonesia. Justru hari-hari setelah bendera diturunkan, kita bisa tanya dengan sungguh, apa arti 80 tahun merdeka kalau rakyat masih terus dihimpit oleh kenyataan yang pahit?

Delapan puluh tahun merdeka, saya melihat di lingkungan terdekat saya dalam perspektif “Anak Kost” nyatanya harga sembako masih mencekik kantong rakyat. Lahan-lahan subur jatuh ke tangan segelintir elit entah elit politik yang menjadi pengusaha atau pengusaha yang bergandeng dengan elit politik, tidak hanya itu petani yang katanya “tulang punggung bangsa” hidupnya rapuh terkecuali petani sawit dan batu bara. Pendidikan makin mahal dan menjadi subjek untuk melempar janji-janji palsu Pendidikan Gratis yang nyatanya saat ini masih banyak orang tua yang banting tulang demi membiayai pendidikan anaknya, dan jargon “kesejahteraan rakyat” lebih sering mampir di baliho para wakil partai daripada di dapur masyarakat sendiri. Jadi, merdeka buat siapa? Anda tentu bisa menjawab dengan sangat lantang untuk siapa merdeka itu. Terlalu banyak peristiwa-peristiwa kelabu untuk saya sebutkan satu-satu. Dalam setahun terakhir, wajah negeri ini makin memperlihatkan retaknya janji kemerdekaan.

Di sisi lain, pemerintah bangga dengan pertumbuhan ekonomi 4,9% pada kuartal pertama 2025. Tapi di balik angka itu, kelas menengah justru menyusut hingga 20% dalam enam tahun terakhir. Daya beli melemah, biaya hidup melonjak, dan calon pekerja kian membengkak. Sementara proyek-proyek raksasa, seperti food estate di Papua dan Kalimantan, menebang jutaan hektar hutan dengan dalih swasembada, padahal justru menyingkirkan masyarakat adat.

Di ranah politik, demokrasi makin sesak napas. Revisi UU TNI memperluas peran militer di ranah sipil, menimbulkan kecemasan akan kembalinya “dwifungsi” dengan wajah baru. Kritik sering dicap makar, aktivis dibungkam, media dihimpit oleh kepentingan modal dan politik. Bahkan menjelang 17 Agustus, rakyat melampiaskan keresahan dengan membentangkan bendera bajak laut ala One Piece sebuah simbol perlawanan yang dianggap lebih jujur daripada slogan kosong di panggung-panggung penguasa. Tak ketinggalan, rakyat daerah pun bersuara. Di Pati, ratusan ribu orang turun ke jalan menolak kenaikan pajak bumi dan bangunan yang mencekik. Demonstrasi terbesar dalam sejarah kabupaten itu berujung pada pencabutan kebijakan dan penyelidikan terhadap bupati. Sebuah bukti bahwa rakyat tak lagi tinggal diam ketika diperas.

Pemilu jadi pesta lima tahunan yang lebih mirip panggung dagelan, di mana suara rakyat dihargai murah, lalu dilupakan. Tapi satu hal yang tidak boleh kita lupakan, kemerdekaan itu bukan hadiah dari sejarah yang bisa kita simpan di lemari, melainkan api yang harus terus dijaga. Kalau rakyat berhenti marah, berhenti bersuara, berhenti menuntut, maka kemerdekaan hanya tinggal mitos.

Last but not least, Semoga Indonesia akan sampai pada kemerdekaan yang sejati bukan hanya janji-janji saja. Kita jaga api kemerdekaan itu jangan biarkan meredup dan akhirnya padam. Sebab kemerdekaan tidak berhenti pada angka 80 tahun, ia akan selalu diuji oleh zaman, oleh kekuasaan, oleh ketidakadilan, dan oleh kita sendiri sebagai cendekia harapan bangsa ini.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *