Nilai Sebagai Tujuan Akhir: Proses Pembebasan atau Proses Penjinakan?

Perguruan Tinggi. Tempat yang diharapkan dapat mencetak manusia-manusia dengan daya berpikir kritis, kreatif, dan bebas. Namun kenyataannya perguruan tinggi saat ini tak lebih dari tempat proses penjinakan untuk menghasilkan para sarjana yang hanya bermodalkan IPK tinggi. Nilai yang sempurna selalu menjadi tujuan akhir bagi para mahasiswa. Hadir di kelas hanya karena absen, menyelesaikan tugas dengan Artificial Intellegence (AI), presentasi yang hanya bermodalkan membaca Power Point (PPT), dan aktif di kelas dengan lagak “tong kosong nyaring bunyinya.” semua itu dilakukan demi mendapatkan nilai yang bagus. Miris, ketika ruang kelas perkuliahan dijadikan tempat untuk ajang perlombaan mencari nilai semata, bukan sebagai tempat untuk berdiskusi dan berpikir secara bebas.

Hal ini semakin diperparah dengan kehadiran para pendidik yang sewenang-wenang menggunakan otoritasnya. Mengiming-imingi mahasiswa dengan mendapatkan poin jika aktif bertanya atau berpendapat, sehingga hanya akan melahirkan mahasiswa dengan rasa penasaran yang palsu, yang hanya bertanya agar mendapatkan nilai, dan lambat laun ruang kelas akan berubah menjadi tempat sampah.

Dr. Muhammad Erwin, S.H., M.Hum. di dalam bukunya Filsafat Hukum mengatakan bahwa tindakan manusia itu bernilai, bila dia sadar akan tindakannya. Bila tidak dilandasi kesadaran, tindakan itu tidak akan bernilai. Tindakan yang didasari oleh kesadaran nilai, tidak mungkin dapat menghasilkan kebebasan berpikir, jika sedari awal tindakannya tak pernah didasari oleh kesadaran untuk mendapatkan kebebasan berpikir.

Menurut Paulo Friere, seorang tokoh pendidikan dari Brasil, pendidikan bukan sekedar proses bertukar pengetahuan dan penilaian, tapi juga sebagai proses pembebasan. Sayangnya, proses pendidikan di Indonesia dari SD hingga Perguruan Tinggi saat ini hanya seperti proses penjinakan. Anak-anak dilatih bukan untuk berpikir kritis, melainkan untuk patuh pada sistem dengan iming-iming nilai sebagai jaminan kesuksesan di masa mendatang.

Tak mengherankan apabila di masa yang akan datang, banyak lulusan sarjana dengan nilai yang cukup bagus, namun kualitasnya tak lebih dari seonggok sampah. Lulusan yang ketika ditanya mengenai materi dasar dari perkuliahan, ia pun tak selalu bisa untuk menjelaskannya. Lulusan yang hebat dalam mengerjakan soal, tetapi bingung ketika dihadapkan dengan situasi yang dilematis. Karena sedari awal kesadaran yang terbentuk bukanlah kesadaran untuk berkembang, meningkatkan daya berpikir kritis ataupun pemahaman terhadap materi, melainkan ‘kesadaran nilai’ yang hanya sebatas menjadikan nilai A sebagai tujuan akhir.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *