Oleh-oleh Gelar untuk Sahabat

Pemberian tanda kehormatan kepada 141 tokoh nasional oleh Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta, Senin, 25 Agustus 2025 menuai sejumlah polemik dan kritik. Lantaran, pemberian tanda kehormatan kepada 141 tokoh nasional tersebut dinilai tak senonoh dan salah tempat mengetahui bahwa sejumlah nama penerima termasuk dalam kalangan pejabat pembantu Presiden hingga kalangan pengusaha dan bahkan ada yang memiliki rekam jejak yang buruk, seperti korupsi hingga pelanggar HAM. Dilansir dari Tempo.com, pemberian tanda kehormatan oleh Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto ini dianggap sebagai bentuk terima kasih lantaran rata-rata penerima tanda kehormatan dengan rekam jejak buruk itu merupakan para pendukung Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden 2024. Maka, tanda jasa dan tanda kehormatan 2025 ini dianggap sekadar ucapan terima kasih kepada mereka.[1] Hal ini didukung dengan fakta bahwa anggota kabinet Merah Putih atau antek-antek pembantu Presiden belum genap setahun bekerja. Dilansir dari Tempo.com, Menteri Sekretaris Negara sekaligus politikus dari partai Gerindra, yaitu Prasetyo Hadi mengatakan bahwa Presiden Republik Indonesia, yakni Prabowo Subianto tidak secara asal memilih anggota kabinet Merah Putih untuk mendapatkan penghargaan. Dia yakin bahwa Presiden Prabowo memiliki kriteria dalam memberikan tanda kehormatan. Namun, Prasetyo tidak menjelaskan kriteria itu.

“Kemudian itu diukur oleh Presiden untuk beberapa anggota kabinet yang meskipun baru 10 bulan, tapi kemudian dianggap sudah mencapai prestasi yang luar biasa,” kata dia.[2]

Bukan yang Pertama

Bagi-bagi gelar kehormatan kepada politis dan kalangan pejabat pemerintahan bukan sekali dua kali terjadi di dalam lingkungan pemerintahan. Melansir dari Tempo.com, jumlah penerima tanda kehormatan di tahun 2025 mengalami kenaikan dan merupakan yang terbanyak dibanding tiga tahun sebelumnya. Pada 2024, di era pemerintahan mantan Presiden ke-7 yakni Joko Widodo, tanda kehormatan diberikan kepada 64 penerima, pada 2023 sebanyak 18 orang, dan pada 2022 tercatat 127 orang. Tapi penerima tanda kehormatan yang lebih banyak terjadi pada era pemerintahan mantan Presiden Joko Widodo di tahun 2021, yakni 335 orang.

Di era pemerintahan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dari tahun 2004 hingga tahun 2014, jumlah penerima Bintang Mahaputera relatif lebih sedikit. Sesuai dengan dokumen yang diunggah di situs web Kementerian Sekretariat Negara, total penerima Bintang Mahaputera pada periode tahun 2004 sampai tahun 2014 hanya sebanyak 239 orang.[3]

Rekam jejak buruk sejumlah nama

Pemberian gelar kehormatan yang dilakukan Presiden Prabowo Subianto tak luput dari kritik dikarenakan sejumlah nama dianggap tidak pantas menerima gelar kehormatan. Seperti mantan Gubernur Bank Indonesia periode tahun 2003 sampai tahun 2008 yakni Burhanuddin Abdullah yang pada tahun 2008, dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi dana Bank Indonesia senilai Rp100 miliar. Melansir dari Kompas.com, Majelis hakim menilai bahwa Burhanuddin Abdullah bersama para anggota Dewan Gubernur BI yang lain telah terbukti bersalah karena menggunakan dana milik Yayasan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (YLPPI) sebesar  Rp 100 miliar untuk bantuan hukum lima mantan pejabat BI, penyelesaian kasus BLBI, dan amandemen UU BI. Dari jumlah Rp100 miliar yang dicairkan, sebanyak Rp68,5 miliar di antaranya digunakan untuk dana bantuan hukum bagi lima mantan pejabat BI yaitu Sudradjad Djiwandono, Paul Sutopo, Hendro Budiyanto, Iwan R. Prawiranata dan Heru Supraptomo.

“Padahal bantuan hukum itu ada yang digunakan untuk membeli properti,” terang Gusrizal.

Sisanya, yakni Rp 31,5 miliar, kemudian diberikan kepada Hamka Yandhu dan Antony Zeidra Abidin, yang mewakili Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat. Tujuan pemberian antara lain untuk membiayai diseminasi dalam proses amendemen Undang-Undang Bank Indonesia.[4] Nama selanjutnya adalah Jenderal TNI Purnawirawan A.M. Hendropriyono. Melansir dari KBR.id, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat bahwa Hendropriyono punya catatan hitam terkait dengan kasus pelanggaran HAM saat di militer maupun ketika menjabat kepala BIN. Menurut Kontras, saat ia menjabat sebagai Danrem 043/Garuda Hitam, Hendropriyono bersama pasukannya menyerang kelompok Warsidi di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur pada 7 Februari 1989. Berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, 130 orang tewas, 77 orang terusir dari kampungnya, 53 orang dirampas kemerdekaannya, 45 orang disiksa, dan 229 orang dianiaya. Hendro juga diduga terlibat dalam pembunuhan berencana terhadap aktivis HAM Munir Said Thalib pada 2004. Semasa hidup, Munir mewakili ratusan keluarga korban Talangsari 1989. Dia juga mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara ketika Megawati menunjuk Hendropriyono sebagai Kepala BIN pada 2001. Karena kasus itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Tim Pencari Fakta Pembunuhan Munir yang dalam laporan akhir merekomendasikan penyidikan terhadap Direktur Garuda Indra Setiawan, Deputi V Badan Intelijen Negara Muchdi PR, dan Kepala BIN AM Hendropriyono. Dalam kasus Munir, Hendro sama sekali tak tersentuh alias tak ada penyidikan lebih lanjut terhadapnya atas kasus itu.[5]

Dua nama di atas hanyalah sedikit dari banyaknya nama-nama yang bermasalah dengan rekam jejak yang buruk dan tidak seharusnya layak mendapatkan gelar kehormatan. Menurut sejarawan Andi Achdian, pemberian tanda jasa dan kehormatan saat ini sebagai “narsistik elite yang berkuasa”. Kelompok elite yang “mengagumi diri sendiri, menghadiahi diri sendiri dengan semua privilese (hak istimewa)”.[6]


[1] Rusman Paraqbueq, Gelar Kehormatan untuk Teman-teman”, (https://www.tempo.co/politik/bintang-mahaputera-teman-teman-prabowo-2063813, diakses pada tanggal 28 Agustus 2025, pada pukul 19.54 WITA).

[2] Hendrik Yaputra, “Mengapa Prabowo Memberikan Penghargaan kepada Para Pembantunya?”( https://www.tempo.co/politik/mengapa-prabowo-memberikan-penghargaan-kepada-para-pembantunya–2063075), diakses pada tanggal 29 Agustus 2025, pada pukul 21.22 WITA).

[3] Rusman Paraqbueq, “Gelar Kehormatan untuk Teman-teman”, (https://www.tempo.co/politik/bintang-mahaputera-teman-teman-prabowo-2063813, diakses pada tanggal 29 Agustus 2025, pada pukul 21.38 WITA).

[4] Kompas.com, “Burhanuddin Abdullah Divonis Lima Tahun”, (https://nasional.kompas.com/read/2008/10/29/12144047/Burhanuddin.Abdullah.Divonis.Lima.Tahun.Pada%20tanggal%2010%20Desember%202017, diakses pada tanggal 29 Agustus 2025, pada pukul 22.05 WITA).

[5] Antonius Eko, “Jejak Berdarah Hendropriyono, dari Talangsari Sampai Munir”, (https://kbr.id/articles/indeks/jejak-berdarah-hendropriyono,-dari-talangsari-sampai-munir, diakses pada tanggal 29 Agustus 2025, pada pukul 22.17 WITA).

[6] BBC.com, “Dari naik pangkat sampai dimakamkan di taman makam pahlawan menjadi hak penerima tanda kehormatan – Mengapa sejumlah nama menuai polemik?”, (diakses pada tanggal 29 Agustus 2025, pada pukul 22.22 WITA).


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *