Oleh: Shalom Gabriela Imanuel
Samarinda – Aksi Kamisan Kalimantan Timur (Kaltim) kembali digelar pada Kamis, 18 September 2025, di depan Kantor Gubernur Kaltim. Aksi ke-405 ini menjadi bagian kedua dari rangkaian peringatan September Hitam, dengan fokus mengenang lima tahun pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani di Intan Jaya, Papua.
Aksi yang berlangsung sore itu dihadiri oleh mahasiswa dan pegiat hak asasi manusia (HAM), Mereka membawa pesan utama, akhiri impunitas militer yang hingga kini masih menyelimuti berbagai kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.
September Hitam dan Luka yang Tak Pernah Sembuh
Setiap September, gerakan masyarakat sipil menandai bulan ini sebagai September Hitam. Bulan ini dipilih bukan tanpa alasan, melainkan lahir dari luka mendalam. September Hitam merupakan penanda atas rentetan tragedi kelam bangsa yang hingga kini tak pernah benar-benar dituntaskan negara. Dari tragedi 1965, Tanjung Priok, Semanggi, Munir hingga berbagai kasus di Papua, September selalu diingat sebagai bulan duka yang memanggil perlawanan terhadap lupa.
September Hitam lahir sebagai momentum refleksi, pengingat, sekaligus kritik keras kepada negara yang masih gagal menunaikan tanggung jawabnya. Para korban dan keluarga korban hingga hari ini masih menanti kebenaran, keadilan, dan pemulihan yang dijanjikan konstitusi, tetapi terus ditunda oleh politik impunitas.
Kasus Yeremia Zanambani: Potret Impunitas
Salah satu kasus yang kembali disuarakan dalam aksi ini adalah pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani. Yeremia, seorang tokoh gereja dan penerjemah Alkitab di Intan Jaya, Papua, tewas ditembak pada 19 September 2020 di Distrik Hitadipa.
Pendeta Yeremia Zanambani ditemukan tewas tertembak di dalam kandang babi miliknya. Saksi menyatakan bahwa kekerasan tersebut dilakukan oleh aparat militer. Namun, Kepolisian Daerah Papua justru menyebut bahwa Yeremia dibunuh oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Klaim ini sejak awal menuai keraguan. Dan benar saja laporan Komnas HAM kemudian menegaskan adanya keterlibatan aparat militer dalam kasus ini. Sayangnya, hingga kini proses hukum yang transparan dan adil tidak pernah benar-benar dijalankan. Keluarga korban masih hidup dalam ketidakpastian, sementara negara terkesan membiarkan kasus ini tenggelam seiring waktu.
Kasus Yeremia menjadi contoh nyata persoalan impunitas militer di Indonesia. Meskipun terdapat bukti awal dan desakan dari berbagai pihak, pelaku belum pernah dibawa ke meja hijau. Situasi ini menegaskan lemahnya mekanisme pertanggungjawaban hukum bagi aparat militer, sekaligus membuka ruang bagi terulangnya kekerasan serupa di masa depan.
Aksi Kamisan Kaltim #405
Sejak pukul 16.00 WITA, peserta Aksi Kamisan Kaltim mulai berkumpul di depan Kantor Gubernur Kalimantan Timur. Mereka berdiri berjajar dengan payung hitam terbuka simbol perlawanan terhadap lupa, serta ramai mengenakan baju hitam sebagai tanda berduka. Spanduk bertuliskan 5 tahun pembunuhan pendeta Yeremia Akhiri Impunitas ditubuh militer keadilan bagi Pendeta Yeremia dibentangkan.
Rangkaian kegiatan dimulai dengan orasi dari Rossa Tri Rahmawati Bahri, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman. Dalam orasinya, ia menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap korban pelanggaran HAM berat, termasuk Pendeta Yeremia Zanambani, sekaligus mengkritik pemerintah yang dianggap lalai menunaikan tanggung jawabnya. Dengan suara lantang ia menyampaikan bahwa pemerintah dengan segala sumber daya yang dimiliki, seharusnya mampu memberikan titik terang kepada keluarga korban, namun itu semua gagal karena karena keadilan yang dipolitisasi.
Orasi berikutnya disampaikan oleh Risky Arum Sejati dari Sambaliung Corner yang menyoroti problem struktural dalam institusi dan lembaga negara. Menurutnya, dengan kondisi seperti ini, mustahil negara mampu menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM berat. Ia berpendapat bahwa sekalipun pemerintah mencanangkan reformasi Polri untuk memperbaiki penegakan hukum, hal itu hanya akan menjadi angan-angan semata. Sebab, di sisi lain, aparat militer yang dalam banyak catatan terlibat pelanggaran HAM berat hingga kini masih diberi ruang impunitas.
Selain dua orasi tersebut, ada juga pegiat HAM yang turut menyampaikan pandangan mereka. Aksi kemudian diisi dengan pembacaan puisi bertema kemanusiaan yang menyuarakan duka, perlawanan, dan harapan keadilan.
Suasana semakin syahdu ketika para peserta bersama-sama menyanyikan lagu “Darah Juang”, sebuah lagu legendaris yang kerap dikumandangkan dalam aksi protes mahasiswa. Lagu itu menjadi pengingat bahwa perjuangan melawan penindasan dan impunitas bukan hanya urusan masa lalu, tetapi masih relevan hingga hari ini.
Aksi Kamisan Kaltim #405 ditutup dengan seruan yang menggema “Hidup Korban, Jangan Diam! Lawan Lupa!” Seruan itu bukan hanya slogan, tetapi janji kolektif untuk terus mengingat, mendesak, dan memperjuangkan keadilan bagi korban, karena Selama hukum tidak ditegakkan setara, korban akan selalu berada di pihak yang kalah
Tinggalkan Balasan