
Autocracy berasal dari kata Yunani Kuno, yaitu auto dan kratos, auto berarti diri dan kratos berarti kekuasaan. Kemudian, fenomena-fenomena penggunaan hukum untuk melegetimasi tindakan-tindakan yang tidak demokratis, memunculkan peristilahan autocracy legalism yang dikonsepkan oleh Kim Lane Scheppele. Untuk menggambarkan cara rezim otoriter yang menggunakan hukum sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan mereka dengan dalih kedaulatan rakyat dan kepentingan umum. Sederhananya, Autocracy Legalism menggambarkan kekuasaan ditingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang menggunakan cara-cara terselubung dengan memanfaatlan kedaulatan rakyat dan berlindung dibalik benteng-benteng demokrasi.
Lantas, bagaimana mengetahui tanda-tanda autocracy legalism yang sulit untuk diidentifikasi tersebut. Menilik literatur Zainal Arifin Mochtar dan Idul Rishan, terdapat tiga poin yang diperhatikan, pertama kooptasi partai yang berkuasa di parlemen; kedua penyalahgunaan hukum dan lembaga penegak hukum oleh aktor politik untuk kepentingan mereka sendiri; dan ketiga peran dan Independensi peradilan yang digerogoti.
Hukum yang seharusnya menjadi pondasi demokrasi dan keadilan, justru dijadikan senjata bagi para otokrat untuk mempertahankan singgasana mereka atas nama negara. Praktik ini terjadi di Indonesia, dengan timbulnya kebijakan-kebijakan yang tanpa memeperhatikan kepentingan dan kesejahteraan Masyarakat. Hal ini pun terjadi penolakan dari berbagai lapisan masyarakat.
Demonstrasi yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia secara besar-besaran—sejarah mencatat—terjadi penolakan atas, pertama menuntut penundaan Rancangan KUHP, kedua menolak revisi UU KPK, ketiga menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketatanegaraan, ketiga mendesak RUU TPKS, keempat menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Cipta Kerja dan Perppu Cipta Kerja, dan kelima menolak praktik nepotisme melalui peradilan Mahkamah Konstitusi.
Kooptasi partai yang berkuasa dalam rumpun eksekutif dan legislatif, dengan upaya menghilangkan oposisi dan merangkul suara besar di parlemen. Hal ini, justuru akan mengakibatkan hilangnya oposisi. Seperti pesan yang disampaikan Romo Magnis, jika Indonesia tidak memiliki partai oposisi, maka perlahan demokrasi di Indonesia akan sirna. Maka, prinsip Rule of law akan berubah menjadi prinsi rule by law, yang artinya pemerintah akan berada lebih tinggi daripada hukum, dengan bebas melakukan apa saja.
Kokohnya hukum represif dari rezim yang menguasai pemerintahan. Membatasi partisipasi publik serta menganggap kritik sebagai ancaman (memusuhi) negara. Meaningfull participation yang seharusnya serius diimplementasikan, justru rezim malah mengerahkan aparat keamanan dan melakukan represif kepada masyarakat. Penggusuran dan perampasan ruang rakyat sering kali terjadi. Masyarakat dalam penolakannya, justru dihadapkan oleh aparat, dengan dalih pembangunan.
Praktik nepotisme yang coba dilakukan oleh Presiden Joko Widodo melalui iparnya di Mahkamah Konstitusi yaitu, Anwar Usman. Merupakan upaya untuk memuluskan langkah dan memenangkan Gibran Rakabuming Raka dalam kontestasi Pilpres 2024. Alhasil lahirnya Putusan 90, melancarkan proses Gibran untuk menjadi Wakil Presiden RI yang akan dilantik pada 20 Oktober 2024 mendatang.
Jika tidak adanya perlawan dan sikap apatisme yang diambil, tidak ada lagi pengawasan dalam mengawal demokrasi. Maka, kekuasaan akan langgeng oleh segelintir orang yang terus ‘memperkosa’ kesejahteraan Masyarakat. Seperti apa yang dikatakan oleh Wiji Thukul “Jika kita menghamba kepada ketakutan, kita memperpanjang, barisan perbudakan.”
Tulisan ini dibuat bukan hanya sekedar menyadarkan, akan tetapi menghasut dan meyakinkan untuk melawan kekuasaan yang merugikan rakyat.
Sebagai epilog, penulis mengutip pesan dari Victor Serge di buku yang berjudul Bangkitlah Gerakan Mahasiswa: “Kau ingin jadi apa? Pengacara, untuk mempertahankan hukum kaum kaya, yang secara inheren tidak adil? Dokter, untuk menjaga kesehatan kaum kaya, dan menganjurkan makanan yang sehat, udara yang baik, dan waktu istirahat kepada mereka yang memangsa kaum miskin? Arsitek, untuk membangun rumah nyaman untuk tuan tanah? Lihatlah di sekelilingmu dan periksa hati nuranimu. Apakah kau tak mengerti bahwa tugasmu adalah sangat berbeda: untuk bersekutu dengan kaum tertindas, dan bekerja untuk menghancurkan sistem yang kejam ini?”