Solidaritas ala Panggung: Ketika Press Release Jadi Alat Sandiwara Moral

Oleh: Bagus

Kementerian Gender BEM FH Unmul membuka babak baru dalam sejarah pergerakan mahasiswa di kampus. Mereka mundur dari kepengurusan sebagai bentuk protes keras terhadap penanganan kasus di lingkungan kampus. Bukan langkah kecil, ini keputusan yang punya konsekuensi politik, sosial, bahkan personal. Langkah ini diambil bukan untuk tampil gagah, tapi karena ada nurani yang diganggu dan batas kesabaran yang sudah terlampaui.

Gerakan itu, seperti api yang menjalar di padang rumput kering, memicu kementerian-kementerian lain untuk turut mengeluarkan press release. Banyak yang benar-benar serius: mereka mencari tahu kebenaran, mereka melihat ketidakadilan, mereka diskusi panjang sebelum mengetik kata pertama. Hasilnya adalah dokumen yang memang lahir dari keterlibatan dan keprihatinan tulus.

Namun, di tengah gelombang “solidaritas” itu, muncullah satu kementerian yang memutuskan ikut arus, bukan karena tergerak, tapi karena merasa gabut.

Ya, gabut. Dan, mungkin, sedikit haus akan cahaya sorotan panggung.

Kementerian ini menulis press release seolah-olah mereka berada di garis depan perjuangan, padahal kalau dilihat lebih dekat, mereka bahkan tidak berdiri di lapangan yang sama. Kalimat demi kalimat mereka tersusun rapi, penuh jargon perjuangan, tetapi di balik layar, niatnya hanyalah untuk tidak ketinggalan tren. Karena di dunia politik mahasiswa, kadang “tidak ikut bicara” dianggap lebih buruk daripada “bicara tanpa isi.”

Bayangkan, tragedi dan penderitaan orang lain dijadikan latar untuk tampil gagah di publik. Seperti orang yang datang ke pemakaman hanya untuk selfie, lalu memberi caption panjang tentang arti kehidupan, padahal hadirnya hanya lima menit, dan itu pun sambil cek notifikasi Instagram.

Solidaritas macam ini ibarat jas formal yang dipakai ke pesta, terlihat meyakinkan di luar, tetapi begitu dilepas, semua tahu isinya hanya kaos oblong kusut. Bagi publik yang membaca, press release ini mungkin tampak sebagai sikap tegas. Tapi bagi mereka yang tahu proses di baliknya, semua terasa hambar, sekadar copy-paste semangat orang lain demi ikut diapresiasi.

Mungkin mereka pikir, dengan satu lembar press release, mereka sudah berdiri sejajar dengan mereka yang benar-benar berjuang. Padahal sejatinya, mereka hanya menunjukan betapa minimnya empati mereka. Ada yang bilang ini “solidaritas”, ada pula yang menyebutnya “panggung murahan.”

Yang jelas, publik tidak buta. Solidaritas palsu mudah sekali tercium, apalagi jika dibuat terburu-buru karena alasan sederhana, sedang gabut dan butuh terlihat relevan. Dan ketika semua tersingkap, yang tersisa hanyalah catatan lucu dalam arsip organisasi BEM FH. “Pernah ada press release yang lahir bukan dari hati, tapi dari kebosanan dan sedikit keinginan untuk terlihat heroik di atas penderitaan orang lain.”


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *