Negara yang Tak Pernah Belajar dari Masa Lalunya

Sejarah selalu meninggalkan jejak, tapi sering kali penguasa menolak membacanya. Dari Revolusi Prancis 1789 hingga Reformasi 1998, kita melihat pola yang sama: ketika negara menutup mata dari penderitaan rakyat dan memilih jalan represif, kekuasaan justru runtuh bukan karena serangan asing, melainkan oleh gelombang rakyatnya sendiri.

Namun, pelajaran itu tampaknya tidak pernah benar-benar masuk ke benak rezim hari ini. Blunder demi blunder yang keluar dari mulut pejabat, pernyataan yang menyakitkan hati rakyat kecil, hingga kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan publik, menunjukkan betapa jauhnya penguasa dari realitas kehidupan sehari-hari masyarakat. Ironisnya, ketika rakyat berusaha menyuarakan kritik melalui aksi demonstrasi, jawaban yang datang justru berupa tameng, pentungan, dan gas air mata.

Pola ini mengingatkan kita pada dua masa kelam. Pertama, Revolusi Prancis ketika Louis XVI dan elitnya sibuk berpesta di Versailles sementara rakyat kelaparan. Kedua, masa Orde Baru yang dengan brutal membungkam suara mahasiswa, buruh, dan rakyat yang menuntut perubahan. Kedua peristiwa itu berakhir sama: runtuhnya rezim yang terlalu percaya diri, yang mengira kekuasaan bisa bertahan dengan represi dan propaganda.

Hari ini, Indonesia seolah berjalan di jalur yang sama. Aparat penegak hukum yang seharusnya melindungi rakyat justru sering tampil sebagai wajah kekerasan negara. Polisi lebih cepat mengamankan aksi rakyat ketimbang membongkar skandal korupsi pejabat. Negara lebih sigap membungkam kritik ketimbang menyelesaikan masalah riil rakyat: harga-harga yang naik, lapangan kerja yang sempit, atau biaya pendidikan yang mencekik.

Masalahnya, rezim seakan percaya bahwa ingatan rakyat bisa dipadamkan. Mereka lupa bahwa sejarah tidak pernah benar-benar hilang. Orang Prancis mengingat 1789 sebagai tonggak keberanian rakyat melawan tirani. Kita mengingat 1998 sebagai bukti bahwa rakyat mampu memaksa seorang diktator turun. Semua itu menjadi penanda bahwa kesabaran rakyat ada batasnya.

Negara yang tidak belajar dari masa lalunya hanya sedang mengulang kesalahan yang sama. Mereka mengira kekuasaan abadi, padahal sejarah selalu membuktikan: tidak ada benteng yang cukup kuat untuk menahan gelombang rakyat. Rakyat bisa diam, rakyat bisa menunggu, tetapi tidak untuk selamanya. Dan ketika suara rakyat benar-benar meledak, semua blunder, semua represi, dan semua kebohongan akan ditagih sekaligus.

Sejarah sudah memberi peringatan, masalahnya penguasa hari ini memilih untuk tuli.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *