Represi Negara dan Resiliensi Rakyat: Sebuah Catatan

Oleh: Shiaushi Alya Dinda Andini

Kasus yang saat ini sedang ramai diperbincangkan oleh masyarakat, yaitu tewasnya seorang pengemudi ojek online berusia 21 tahun akibat dilindas oleh mobil aparat saat terjadi demonstrasi pada Kamis, 28 Agustus 2025, Jakarta Pusat, kembali membuktikan tindak represi yang dilakukan negara terhadap masyarakat. Peristiwa ini menjadi salah satu dari sekian banyak bukti nyata yang berulang sepanjang sejarah seolah terciptanya rantai tragedi dari rezim ke rezim yang melilit masyarakat.

Dalam kuliah umum bertema “Dari Represi ke Resiliensi: Gerakan Rakyat dalam Bayang Kekerasan Negara” di Universitas Mulawarman, Rabu, 17 September 2025, para narasumber mengupas tuntas isu ini. Roedy Hardjowiyono dan Iqbal Al-Fiqri menyoroti kasus-kasus represi struktural dan represi kultural yang luput dari perhatian publik. Represi struktural adalah penindasan yang dilembagakan melalui kebijakan atau hukum. Contohnya adalah undang-undang yang diskriminatif atau dalam kasus yang mereka sebutkan, yaitu kebijakan pemerintah yang membiarkan galian tambang merusak lingkungan dan menindas masyarakat adat. Sementara itu, represi kultural beroperasi dengan cara yang lebih halus, yaitu melalui pembentukan nilai-nilai atau ideologi yang membuat masyarakat menerima penindasan sebagai sesuatu yang normal atau bahkan dianggap benar. Ini bisa berupa propaganda yang membungkam kritik atau narasi yang melemahkan gerakan masyarakat.

Refinaya dari gerakan Perempuan Mahardika Samarinda juga menjelaskan bagaimana tindakan kekerasan negara, terutama tragedi yang tidak mendapat keadilan hingga saat ini membentuk ingatan dan trauma kolektif masyarakat. Kasus-kasus seperti pembunuhan Marsinah, Tragedi 65, pembunuhan Munir, pemerkosaan 98, pembunuhan Ita Martadinata, hingga tewasnya Affan Kurniawan yang baru-baru ini terjadi telah terpupuk sejak lama dan diubah oleh masyarakat menjadi kekuatan resiliensi untuk melawan.

Trauma ini tidak untuk ‘mengglorifikasi’ kesedihan, melainkan untuk membangkitkan semangat perjuangan rakyat untuk melawan ketidakadilan yang bersarang kuat seolah telah menjadi budaya untuk melegitimasi kekuasaan para penguasa. Ingatan kolektif terhadap kekejaman di masa lalu menjadi pemantik dalam berbagai perlawanan rakyat, salah satu yang paling membekas adalah tragedi 98 yang kemudian membuahkan hasil reformasi pada masa orde baru bagi Indonesia yang kemudian menjadi bukti bahwa segala perjuangan perlawanan tidak akan berakhir sia-sia. Namun, perjuangan rakyat tidak berhenti sampai di situ. Masih banyak bentuk represi yang dibalut sedemikian rupa untuk menyamarkan kekerasan yang dilakukan negara kepada masyarakat.

Aksi ‘September Hitam’ yang bertujuan untuk mengenang berbagai peristiwa kelam yang terjadi di Indonesia merupakan salah satu dari bentuk perlawanan untuk tidak melupakan sejarah bangsa dan terus menuntut keadilan serta hak-hak masyarakat yang dirampas oleh negara. Bentuk resiliensi pun tidak terbatas pada aksi demonstrasi semata, melainkan terdapat banyak jalan untuk menempuh tujuan tersebut. Perlawanan digital seperti aksi Indonesia Gelap dan aksi 17 + 8 dengan menaikkan isu-isu terkait di berbagai macam platform media sosial hingga berhasil disoroti oleh media pers asing, kritik terhadap pemerintah melalui seni seperti musik, teater, film, bahkan stand up comedy juga merupakan bentuk pemberontakan terhadap represi.

Perlawanan ini tidak hanya digerakkan oleh satu kelompok. Para mahasiswa yang memiliki posisi relatif independen dari kekuasaan sering menjadi garda terdepan dalam menyuarakan kritik terhadap pemerintah. Namun, kekuatan sesungguhnya tetap datang dari jaringan solidaritas massa rakyat, yaitu buruh, petani, aktivis, dan kelompok masyarakat adat. Mereka bersatu karena menyadari bahwa penindasan yang menimpa Marsinah, para petani di Rembang, atau masyarakat adat di Kalimantan adalah bagian dari rantai represi yang sama. Ingatan kolektif ini menjadi perekat yang menyatukan mereka dalam satu barisan perjuangan.

Lebih dari sekadar catatan sejarah, kekerasan negara juga meninggalkan luka yang mendalam. Trauma dan ketakutan ini tidak hanya membebani korban, tapi juga memengaruhi keluarga hingga teman-teman mereka dari generasi ke generasi. Kisah-kisah pilu ini yang kemudian diwariskan dari mulut ke mulut hingga lintas generasi sebagai pengingat bahwa perlawanan salah satunya adalah tentang mempertahankan kemanusiaan dan martabat diri di tengah ancaman yang menghantui. Hal ini sejalan seperti yang dikatakan oleh Herdiansyah Hamzah selaku dosen fakultas hukum Universitas Mulawarman di kuliah umum tersebut bahwa, “Tunduk kepada ketakutan sama seperti memperpanjang barisan perpudakan.”

Seruan untuk terus ‘berisik’ mengusik pemerintah menjadi mandat bagi rakyat untuk melanjutkan peran sebagai aktor-aktor perjuangan. Ungkapan Roedy yang mengatakan, “Perlawanan tidak akan bisa dibunuh.” menjadi penegasan bahwa perjuangan rakyat akan terus hidup dan berevolusi dalam tiap denyut nadi bangsa.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *