
Ilustrasi: depositphotos.com
Pada tanggal 20 Oktober lalu, kita menyaksikan pelantikan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, hal ini juga sekaligus menandai berakhirnya masa era kepemimpinan Jokowi.
Transisi kepemimpinan di antara dua kepemimpinan ini memiliki jalinan relasi yang sangat kuat yang sulit untuk dipisahkan, bukan hanya karena mereka terikat oleh ikatan politik, tapi lebih dari itu.
Jalinan relasi kedua era kepemimpinan ini mempresentasekan sebuah awal dari masa kegelapan bagi HAM di Indonesia.
Sama seperti penyakit, yang kemunculannya tidak lantas terjadi begitu saja tanpa ada gejala-gejala dan penyebabnya. Gejala awal dimulainya masa kegelapan HAM ditampilkan melalui era Jokowi.
Era kepemimpinan Jokowi, direpresentasikan dengan tumbangnya hukum dan kemunduran demokrasi. Selain itu, selama sepuluh tahun menjabat Jokowi tidak mampu memenuhi janji kampanye-nya yakni menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu. Alih-alih memenuhi janjinya, ia justru menjadi otak di balik tindakan kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian kepada masyarakat. Mengapa demikian, sejumlah kasus kriminalisasi diakibatkan karena semangat pembangunan-isme yang dicanangkan oleh kabinet-nya. Akibatnya, dalam proses implementasinya sangat dipaksakan, yakni apabila terjadi penolakan dari kebijakan tersebut, tentu saja mereka akan dicap sebagai penghambat kebijakan. Hal ini boleh dilihat dari implementasi dari kebijakan Proyek Strategis Nasional (PSN), salah satunya kasus rempang eco city.
Padahal di awal kedatangan pencalonannya ia muncul sebagai harapan bagi wong cilik. Selain itu, pada pemilu 2014 dan 2019 ia vis-a-vis dengan Prabowo memperebutkan tampuk kekuasaan. Di dua pemilu itu juga, Jokowi (beserta fanatiknya) kerapkali menyerang Prabowo sebagai pelanggar HAM. Tak heran, jika dalam dua tahapan sesi debat pemilu 2014 dan 2019, Prabowo seringkali babak belur ketika membahas persoalan HAM.
Tak hanya itu, era ini juga, menyajikan kepada kita bagaiamana keputusan politik dikuasai sepenuhnya, melalui monopoli partai politik. Runtuhnya kedaulatan rakyat merupakan keruntuhan bagi hukum. Hukum kini hanya dipandang sebatas secarik kertas yang berisikan teks-teks usang. Betapapun, para pakar telah berupaya memperbarui keusangan itu, karena keputusan politik telah dikuasai sepenuhnya, teks-teks nya yang canggih hanyalah sebuah hiasan belaka. Akibatnya, ia telah ditinggalkan oleh rakyat, dan tak lagi dapat memberikan akses untuk memperoleh keadilan.
Sebenarnya masih banyak jika kita ingin merincikan satu-per-satu gejala tersebut, namun sekali lagi ini hanya gejala awalnya. Walaupun, memang kemunduran dalam segala aspek bidang kehidupan bernegara ditampilkan oleh era Jokowi, namun saya kira ada satu hal yang membuat mengapa kepemimpinan Prabowo yang menjadi gong bagi dimulainya masa kegelapan ini, salah satunya ialah semangat militer-isme nya masih kuat mengakar sampai saat ini.
Hal ini bisa dilihat beberapa hari pasca pelantikannya, yakni pembekalan kepada jajaran kabinetnya yang dilaksanakan di Akademi Militer Gunung Tidar. Selain dari tempatnya yang dilakukan di markas militer, metode-metode pembekalannya-pun sangat militeristik. Dengan menggunakan seragam khusus militer, mereka diberikan pembekalan seperti latihan baris berbaris. Selain itu, mereka juga diberikan materi mengenai food estate.
Dengan demikian, bisa dikatakan kabinet yang dipimpin oleh Prabowo ini merepresentasikan semangat pembangunan-isme dan semangat militer-isme. Atas hal itu, era baru ini merupakan masa kegelapan bagi HAM di Indonesia.
Di awal telah disajikan bagaimana semangat pembangunan-isme dari era kepemimpinan Jokowi berkontribusi terhadap sejumlah kriminalisasi, perampasan hak dan lahan warga. Lantas bagaimana jika semangat pembangunan-isme ini dikombinasikan dengan semangat militer-isme? Dan era Orde Baru dan beberapa negara lainnya ketika dipimpin oleh rezim militer. Bagaimana era Orde Baru kepemimpinan Soeharto telah membunuh ribuan orang, yang terjadi sejak tahun 1965 hingga 1998. Bukankah di beberapa negara seperti Yunani, Mezir, Myanmar yang dipimpin oleh rezim militer telah membuat rakyatnya mengalami penindasan dan kelaparan?
Meski demikian, satu hal yang menjadi harapan bagi kita. Bahwa sebelum Zaman Rennaisance (abad pencerahan) dimulai di Eropa pada abad 15, pernah mengalami sebuah masa kegelapan (dark age).
Kemunculan Rennaisance diartikulasikan melalui sikap optimistik yang melepas belenggu pesimistis pada waktu itu. Oleh karena itu, kita mesti mengubah segala keputusasaan dengan mengabarkan sebuah harapan.
Termasuk juga, kita mesti memikirkan ulang dan membangun kembali sejumlah hal-hal yang saat ini bermasalah, seperti hukum, ekonomi, dan politik. Buah tangan yang dihasilkan para generasi terdahulu (reformis 98) kini telah berkarat, dan kita perlu menggantinya. Tentu saja, upaya tersebut mesti diorientasikan atas dasar kemanusiaan (humanisme)—bukan atas dasar kepentingan masing-masing individu dan kelompok tertentu. Dengan demikian, kita akan membebaskan umat manusia dari penindasan, kekerasan, kelaparan, dan ketidakadilan. Meskipun, agak sulit dan nyaris mustahil dilakukan, namun kita harus melakukannya.
“Tak ada kata menyerah untuk melaksanakan panggilan intelektual dalam memperjuangkan emansipasi dan umat manusia”
Edward W. Said
Tinggalkan Balasan